Example floating
Example floating
Opini

Fiqih Ekofeminisme Merespon Bahaya Pembalut

708
×

Fiqih Ekofeminisme Merespon Bahaya Pembalut

Sebarkan artikel ini
Fiqih Ekofeminisme Merespon Bahaya Pembalut
Iustrasi bahaya pembalut (jodoindia.org)
Example 468x60

Fiqih Ekofeminisme Merespon Bahaya Pembalut

Oleh: Dr. Husamah, M.Pd. Dosen FKIP. Dosen Ilmu Lingkungan di PBIO FKIP Universitas Muhammadiyah Malang.

Sejatinya, pembalut adalah benda penolong dan penyelamat bagi kaum hawa. Mereka masih tetap dapat beraktivitas meskipun dalam kondisi menstruasi. Namun demikian, kondisi kekinian justru menunjukkan kenyataan yang mengerikan.

Sustaination melaporkan bahwa setiap harinya sebanyak 26 ton sampah dihasilkan dari pemakaian pembalut sekali pakai di Indonesia. Jumlah ini berarti 780-800 ton sebulan. Angka disumbangkan oleh perempuan berkategori subur (15-49 tahun), yang menggunakan 3-5 pembalut setiap hari. Mengingat jumlah Perempuan berkategori subur mencapai 70—75 juta orang, maka jumlah limbah pembalut yang digunakan mencapai 1,5-3 miliar perbulan.

Dapat dibayangkan berapa besar limbah pembalut dalam setahunnya. Pikiran logis kita pun akan tertuju pada bahaya mengerikan yang ditimbulkan, berupa pencemaran tanah dan air. Wajar saja, mengingat seperti perkiraan Prof. Hameed dan koleganya dari Industrial Ecology Research Group, Vellore Institute of Technology dalam artikel ilmiah “Resource recovery from soiled sanitary napkin waste-a state-of-the-art review’” (2024) bahwa satu limbah pembalut benar-benar akan terurai setelah 800 tahun.

Pembalut memiliki jejak karbon yang tinggi, yaitu setara dengan 5,3 kg karbondioksida setiap tahunnya dan menghasilkan gas metana yang memiliki kekuatan 25 kali lipat lebih dahsyat dalam menyebabkan pemanasan global dibanding karbondioksida.

Kontribusi pembalut dalam merusak lingkungan dan mempercepat laju pemanasan global sungguh nyata adanya. Bayangkan bagaimana nasib lingkungan kedepannya mengingat 50% populasi dunia mengalami menstruasi, dan satu perempuan akan menghasilkan 11.000 pembalut sekali pakai seumur hidupnya, sebagaimana analisa OrganiCup.

Penguatan Fiqih Ekofeminisme

Pencemaran “akibat” perempuan rasanya agak ironi, justru jika kita sandingkan dengan gerakan ekofeminisme yang belakangan banyak digaungkan. Sebagai kelanjutan perjuangan yang dirintis Francoise d’Eaubonne, tokoh berkebangsaan Perancis, ekofeminisme seharusnya teraktualisasi dalam perilaku keseharian. Agar tidak hanya sekedar jargon dan teori semata, maka gerakan feminisme gelombang ketiga yang membangun relasi perempuan dan lingkungan ini perlu dikuatkan dengan dimensi spiritualitas “fiqih”.

Dalam dimensi penguatan fiqih ekofeminisme, maka harus dipandang lebih jauh sebuah cerminan apa sebenarnya krisis sosial ekologis yang terjadi sekarang, kaitannya dengan apa yang dialami, dan apa yang harus dilakukan perempuan. Oleh karena, “apa yang harus dilakukan itu” berarti bergerak aktif untuk mengamalkan ajaran agamanya dalam dimensi keberlanjutan fungsi lingkungan.

Fiqih ekofeminisme harus dipandang sebagai terobosan kaum perempuan Islam, berwujud tindakan nyata dalam menjawab masalah lingkungan. Fiqh ini hadir sebagai pemahaman kosmis ekologis, bahwa “manusia” perempuan merupakan image dei yang percaya bahwa manusia dipanggil oleh Tuhan untuk ikut serta dalam memelihara keutuhan ciptaanNya.

Sachiko Murata, tokoh perempuan Jepang yang gagasannya banyak menjadi rujukan tentang spiritualitas feminin dalam Islam memberikan nasihat yang menggugah. Ia menegaskan bahwa menjaga kelestarian alam selayaknya menjaga harkat kemanusiaan kaum perempuan (ibu, saudara perempuan, dan isteri). Hal ini berarti potensi feminitas yang ada pada manusia perlu dikembangkan secara integral dalam mengabdi kepada Tuhan dan mengelola alam, agar muncul relasi harmoni tiga dimensi (Tuhan-alam-manusia) yang organis.

Tentu, ini akan berjalan baik ketika terjadi harmoni dengan maskulinitas. Mengutip Afdhaliah K. Usman dalam opininya “Perempuan, Islam dan Ekofeminisme Membicarakan Bumi’” (2020) esensi tujuan hidup manusia, baik laki-laki maupun perempuan, adalah untuk menjadi insan al-kamil (manusia sempurna), yaitu manusia yang dapat menyatukan sisi ilahiah jamal dan jalal menjadi kamal (sempurna).

Konsekuensi logisnya adalah laki-laki dan perempuan haruslah saling melengkapi dan tidak boleh ada proses eksploitasi dalam relasi keduanya dalam tataran apapun termasuk dalam upaya bersama-sama berkontribusi bagi lingkungan yang berkelanjutan.

Bagaimana wujudnya? Sudah saatnya perempuan, dengan dukungan ayahnya, suaminya, saudara, dan teman laki-lakinya untuk menggunakan produk-produk ramah lingkungan. Saat ini telah banyak tersedia produk pembalut kain, kasa, celana menstruasi, dan menstrual cup di pasaran. Memang sekilas produk tersebut terkesan mahal, namun jika menghitung waktu pakai dan dampak positif bagi lingkungan, tentu ini menjadi sangat rasional.

Sebagai contoh, menstrual cup terbuat dari silikon yang jumlahnya melimpah di bumi. Bijaknya, sudah saatnya para perempuan menentukan pilihan untuk menggunakan produk sanitary yang lebih ramah lingkungan sebagai wujud cinta lingkungan dan pengamalan ajaran agama.

Example 300250 Google News
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *