Opini

Sepertinya Perokok Turki Lebih Beradab dari Konoha

Avatar
688
×

Sepertinya Perokok Turki Lebih Beradab dari Konoha

Sebarkan artikel ini
Sepertinya Perokok Turki Lebih Beradab dari Konoha
Dr Husamah, saat foto selfie di Turki

Sepertinya Perokok Turki Lebih Beradab dari Konoha

Oleh: Dr. Husamah, S.Pd., M.Pd. (Dosen Pendidikan Biologi FKIP UMM, Senang Backpacker)

Perbandingan “Perokok Turki Lebih Beradab dari Konoha” sepertinya bukan sekadar gurauan. Pengamatan bahwa di Turki, meskipun merokok adalah hal yang umum, puntung rokok jarang ditemukan berserakan dan perokok cenderung menghormati ruang publik, menawarkan sebuah perbandingan budaya yang menarik dan relevan. Perbedaan ini bukan sekadar masalah kebiasaan individual, melainkan mencerminkan perbedaan nilai-nilai sosial, norma-norma yang berlaku, dan efektivitas sistem kontrol sosial dalam masyarakat.

Opini ini, akan mengupas fenomena ini secara lebih mendalam, meninjau faktor-faktor sosiologis, psikologis, dan budaya yang mendasarinya, serta menawarkan beberapa rekomendasi untuk transformasi perilaku merokok di Indonesia.

Mengamati Perbedaan: Turki vs. “Konoha”

Pengamatan mengenai kebiasaan merokok di Turki menyoroti beberapa poin penting: (1) Kebersihan Lingkungan: meskipun merokok lazim, puntung rokok jarang ditemukan di jalanan atau tempat umum. (2) Penghormatan Ruang Publik: Perokok di Turki cenderung menghindari merokok di tempat-tempat tertutup atau yang dapat mengganggu orang lain. (3) Norma yang Kuat: terdapat norma sosial yang kuat yang menekankan pentingnya menjaga kebersihan dan ketertiban ruang publik.

Kondisi ini kontras dengan realitas di “Konoha”, di mana masalah sampah puntung rokok dan perilaku merokok yang kurang bertanggung jawab masih menjadi masalah yang umum. Perbedaan ini memunculkan pertanyaan: faktor apa saja yang menyebabkan perbedaan perilaku yang mencolok ini?

Perspektif Sosiologi: Struktur, Norma, dan Kontrol Sosial

Dari perspektif sosiologi, beberapa teori dapat menjelaskan perbedaan ini.

Pertama, Teori Fungsionalisme Struktural (Émile Durkheim). Teori ini menekankan peran norma dan nilai dalam menjaga keteraturan sosial. Masyarakat dengan norma yang jelas, terinternalisasi dengan baik, dan ditegakkan secara efektif cenderung lebih teratur dan harmonis. Di Turki, norma untuk menjaga kebersihan dan ketertiban publik tampaknya lebih kuat dan lebih ditaati dibandingkan di Indonesia. Hal ini tercermin dalam perilaku perokok yang lebih bertanggung jawab.

Kedua, Teori Kontrol Sosial (Travis Hirschi). Teori ini berpendapat bahwa ikatan sosial yang kuat (attachment, commitment, involvement, dan belief) dapat mencegah perilaku menyimpang. Individu yang memiliki ikatan sosial yang kuat cenderung lebih peduli pada opini orang lain dan konsekuensi dari tindakan mereka. Di Turki, kemungkinan terdapat kontrol sosial yang lebih efektif, baik formal (melalui penegakan hukum) maupun informal (melalui tekanan sosial dari lingkungan sekitar).

Ketiga, Teori Labeling (Howard Becker). Teori ini menjelaskan bagaimana label atau stigma yang diberikan masyarakat dapat mempengaruhi identitas dan perilaku individu. Jika perilaku merokok yang tidak bertanggung jawab diberi label negatif secara luas, individu cenderung menghindari perilaku tersebut untuk menghindari stigma.

Perspektif Psikologi: Pembelajaran, Kognisi, dan Kontrol Diri

Dari sudut pandang psikologi, beberapa faktor yang berperan.

Pertama, Teori Pembelajaran Sosial (Albert Bandura). Individu belajar melalui observasi dan imitasi. Jika individu melihat orang di sekitarnya merokok dengan tertib dan bertanggung jawab, mereka cenderung meniru perilaku tersebut. Sebaliknya, jika mereka melihat perilaku merokok yang tidak bertanggung jawab, mereka juga berpotensi menirunya. Lingkungan sosial di Turki mungkin memberikan contoh perilaku merokok yang lebih positif.

Kedua, Teori Kognitif Sosial. Teori ini menekankan peran pikiran dan keyakinan dalam membentuk perilaku. Persepsi individu terhadap risiko dan konsekuensi dari perilaku merokok, serta keyakinan mereka tentang kemampuan mereka untuk mengendalikan perilaku tersebut (self-efficacy), memengaruhi tindakan mereka.

Ketiga, Disiplin Diri dan Kontrol Impuls. Perilaku membuang puntung sembarangan dapat dikaitkan dengan kurangnya disiplin diri dan kontrol impuls. Individu yang sulit mengendalikan impulsnya cenderung bertindak tanpa memikirkan konsekuensinya.

Aspek Budaya dan Konteks Lokal.

Selain faktor sosiologis dan psikologis, aspek budaya dan konteks lokal juga memainkan peran penting. Perbedaan nilai-nilai budaya, tradisi, dan kebiasaan dapat memengaruhi bagaimana perilaku merokok diterima dan diatur dalam masyarakat. Misalnya, budaya gotong royong, Tepo sliro, unggah-ungguh dan kepedulian terhadap lingkungan di beberapa daerah di Indonesia mungkin dapat dimanfaatkan untuk mendorong perilaku merokok yang lebih bertanggung jawab.

Belajar dari Turki, Indonesia dapat mengadopsi beberapa strategi untuk mendorong terciptanya “perokok beradab”. Penguatan Norma Sosial dirasa perlu. Kampanye edukasi dan sosialisasi yang efektif perlu digalakkan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang dampak negatif dari perilaku merokok yang tidak bertanggung jawab. Kampanye ini harus menargetkan berbagai lapisan masyarakat, termasuk perokok dan non-perokok, dan menggunakan berbagai saluran komunikasi yang efektif.

Selanjutnya, Peningkatan Kontrol Sosial. Partisipasi aktif masyarakat dalam mengawasi dan mengingatkan perilaku yang kurang bertanggung jawab perlu ditingkatkan. Hal ini dapat dilakukan melalui pembentukan kelompok-kelompok masyarakat peduli lingkungan atau melalui pemanfaatan media sosial untuk melaporkan pelanggaran.

Selain itu, Penegakan Hukum yang Tegas dan Konsisten. Penegakan aturan terkait larangan merokok di tempat-tempat tertentu dan sanksi bagi pelanggar perlu dioptimalkan. Penegakan hukum yang konsisten dan transparan dapat memberikan efek jera bagi pelaku pelanggaran.

Opsi lain, Pendidikan Karakter dan Pembentukan Kebiasaan Positif. Pendidikan karakter yang menekankan disiplin diri, tanggung jawab, dan kepedulian terhadap lingkungan perlu diintegrasikan dalam sistem pendidikan sejak dini. Pembentukan kebiasaan positif, seperti membuang sampah pada tempatnya dan menjaga kebersihan lingkungan, juga perlu dipromosikan secara luas.

Terakhir, Penyediaan Infrastruktur yang Mendukung. Penyediaan tempat sampah yang memadai, khususnya tempat sampah khusus puntung rokok, di tempat-tempat umum dapat memudahkan perokok untuk membuang puntungnya dengan benar.

Perbandingan antara perilaku merokok di Turki dan Indonesia memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya norma sosial, kontrol sosial, faktor psikologis, dan konteks budaya dalam membentuk perilaku individu. Transformasi menuju “perokok beradab” di Indonesia membutuhkan pendekatan yang komprehensif dan berkelanjutan, melibatkan berbagai pihak, mulai dari pemerintah, masyarakat, hingga individu perokok itu sendiri. Dengan upaya bersama, diharapkan Indonesia dapat menciptakan lingkungan yang lebih bersih, sehat, dan nyaman bagi semua.

Perjalanan ini bukan tentang meniru Turki secara membabi buta, tetapi tentang mengambil pelajaran berharga dan mengadaptasikannya dengan konteks Indonesia untuk mencapai perubahan yang lebih baik.

Google News

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Hari Santri