Judul: Dari Keluarga, Semua Bermula; Penulis: Thathit Manon Andini; Jumlah halaman: 196 hal; Cetakan: Pertama, September 2023; Penerbit: Litera Mediatama. Peresensi: Dr. Husamah (Dosen PBIO FKIP Universitas Muhammadiyah Malang)
Al-Qur’an Surat Al-Furqan ayat 74 mengajarkan kepada umat beriman agar senantiasa berharap dan berdoa kepada Allah SWT untuk dikarunia anak-anak, para generasi qurrata a’yun. Qurrata a’yun bermakna penyejuk mata, penyejuk jiwa, penentram hati, atau penyenang hati. Lebih lanjut, qurrata a’yun merupakan generasi penerus yang senantiasa mengerjakan ketaatan, sehingga dengan ketaatannya itu membahagiakan, menyenangkan dan menyejukkan orang tuanya di dunia dan akhirat. Mereka adalah teladan umat, contoh sosial dalam tindakan atau perilaku kesalehan.
Mencetak generasi qurrata a’yun tidaklah berhenti dengan sekedar berdo’a. Ikhitar dan upaya nyata perlulah mengiringi. Bagaimanakah cara membentuk generasi qurrata a’yun itu? ikhtiar yang dicontohkan dalam Islam adalah dengan memastikan perilaku dan pola asuh anak yang dimulai dari rumah.
Seringkali, orang tua begitu mudah lepas tangan dengan menyerahkan semuanya kepada guru atau asatidz/asatidzah. Padahal peran orang tua sangatlah vital dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Inilah yang rasanya menjadi spirit lahirnya buku “Dari Keluarga, Semua Bermula” yang ditulis dengan cukup apik nan menggugah oleh “Bunda” Dra. Thathit Manon Andini, M.Hum.
Bunda Thathit, begitu beliau akrab disapa oleh para kolega, mampu menghasilkan karya yang sangat berharga. Dengan bahasa tutur yang lugas, sederhana, berefleksi dari pengalaman sebagai orang tua sekaligus dosen dan Kepala Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak (LP3A) maka karya ini menarik untuk direnungkan oleh setiap orang tua dan calon orang tua.
Bab 2 sepertinya bagian yang wajib untuk dibaca. Bagian ini mengulas pentingnya menggali potensi anak sesuai fitrah anak (hal 19-38). Anak memiliki fitrah keimanan, fitrah belajar dan bernalar, fitrah bakat, fitrah seksual, fitrah individual dan sosial, dan fitrah jasmani. Bagian ini merujuk pada karya fenomenal.
Ustadz Harry Santosa, founder Millenial Learning Center dan komunitas HEbAT (Home Education Based on Akhlak and Tallent) melalui bukunya yang berjudul Fitrah Base Education. Fitrah adalah benih pilihan yang dikarunia oleh Allah SWT. Menumbuhkan fitrah artinya, menumbuhkan benih-benih kebaikan yang mengiringi kelahiran seseorang ke dunia.
Bab 3 (hal 39-55) mengamanahkan bahwa “sebelum mendidik, terlebih dahulu harus terdidik”. Mustahil kita dapat mendidik anak untuk melakukan sesuatu, tetapi kita sebagai orang tua justru tidak tahu apa yang akan diberikan kepada anak atau kita tidak tahu bagaimana caranya. Maka dari itu kita dapat memahami sebelum mendidik, orang tua haruslah terdidik. Dengan itu maka orang tua akan mampu mendidik dan mengajarkan kebaikan kepada anak mereka di rumah.
Catatan Bunda Thathit ini sangat klik dengan refleksi Lee Elliott Major, dosen di Exeter University, professor pertama di Inggris yang fokus pada social mobility. Lewat opininya di The Guardian, dia menekankan bahwa keterdidikan orang tua mempunyai dampak besar terhadap masa depan anak-anaknya. Dalam penelitian selama beberapa dekade, Lee Elliott Major menemukan bahwa kebiasaan sederhana yang diciptakan orang tua di rumah dapat membuat perbedaan besar dalam hidup anak di masa depannya.
Dalam dunia yang semakin terpolarisasi, karya sosiolog Amerika Annette Lareau tampaknya semakin relevan. Lareau membedakan aktivitas mendidik yang dilakukan orang tua menjadi dua. Pertama, “pembinaan bersama”, yang melibatkan anak-anak mereka dalam aktivitas budaya terstruktur, komunikasi intensif, bahkan bercengkerama di meja makan. Sebaliknya, yang kedua adalah pola orang tua yang mempraktikkan “pengasuhan pertumbuhan alami” – sebuah pendekatan “lepas tangan”. Pola ini dilakukan dengan membiarkan anak berkembang begitu saja, alamiah.
Dalam buku ini, Bunda Thathit juga memaparkan pandangan psikolog Diana Baumrind yang pada tahun 1960-an, mengidentifikasi tiga gaya utama dalam mengasuh anak: otoriter, otoritatif, dan permisif (authoritarian, authoritative and permissive). Sayangnya gaya keempat, lalai (neglectful), yang kemudian ditambahkan pada tahun 1980an oleh peneliti Stanford, Eleanor Maccoby dan John Martin tidak dibahas dalam buku ini. Namun demikian, beberapa bab dalam buku ini tetap mewanti-wanti akan banyaknya praktik orang tua yang lalai dalam mendidik anak.
Salah satu bagian yang juga up to date adalah Bab 6 tentang “mengajarkan etika dari rumah” (hal. 107-128). Bagian ini sangat penting mengingat masalah etika terus menjadi sorotan di Indonesia, baik dari sisi sosial, politik, dan pendidikan.
Luzmery M. Romero Gamboa dan Fleur Rodgers, keduanya kolumnis di storyberries.com, mewanti-wanti bahwa anak-anak zaman sekarang tumbuh dalam masyarakat yang kompleks. Mereka dipapar dengan kesegeraan, konsumtif, dan individualisme. Peristiwa-peristiwa dunia baru-baru ini, menuntut adanya pengajaran dan keteladan kesadaran etis sejak dari rumah. Pendidikan etis seharunsya dirancang untuk mendorong pemikiran kritis dan mandiri serta memberi nilai pada potensi kreatif. Pola ini akan membantu anak dalam mengembangkan keterampilan yang di perlukan untuk membuat keputusan penting; baik sendiri, atau saat bekerja dengan orang lain.
Anak-anak dapat diberikan kesempatan untuk mengeksplorasi pemahaman mereka tentang etika melalui berbagai tema seperti tanggung jawab sosial, toleransi, penghormatan terhadap martabat manusia, dan keadilan. Dengan cara ini mereka mulai mengetahui bagaimana membedakan yang baik dari yang buruk, dan yang adil dari yang tidak adil. Mereka mulai menginternalisasi serangkaian pola moral, yang sering kali mencerminkan pola moral orang tua, selain juga guru di sekolah dan komunitas mereka.
Dalam konteks pendidikan etika, tuntutan ini mengingatkan kita pada catatan James Cowart (2023) seorang kepala sekolah di Pensacola Florida, Amerika Serikat. Berdasarkan pengalaman pribadinya, ia berefleksi bahwa “Salah satu hal terbaik adalah gagasan bahwa orang tua dapat dididik sekaligus bersama dengan anak-anak mereka”. Kita mungkin dapat memaknai bahwa orang tua harus terus belajar, tanpa henti. Menjadi orang tua adalah proses belajar tanpa henti.
Mengajarkan etika kepada anak haruslah dengan keteladanan. Jadilah panutan yang etis. Jalankan apa yang Anda katakan. Orang tua harus memberikan teladan bagaimana bersikap baik, dapat dipercaya, perhatian, hormat, dan adil terhadap siapapun, termasuk anak. Tetapkan standar yang konsisten tentang perilaku benar dan salah dan dorong pilihan yang selaras dengan standar tersebut.
Buku ini terdiri dari 9 bab, atau 35 bagian/fokus. Setiap bagian saling terkait, disertai visualisasi dan highlight sehingga memberikan poin penting dan penekanan untuk mudah diingat. Akhirnya, selamat membaca. Marilah bersama untuk terus belajar menjadi orang tua yang baik. Semoga.