Langkanya Praktik Pembelajaran Digdaya Selaras RI 4.0 dan Society 5.0
Dr. Nurwidodo M.Kes.
(Dosen Pendidikan Biologi FKIP UMM, Kepala LMT FKIP UMM)
Hampir semua pembelajaran di sekolah bahkan di kampus hingga saat ini masih menggunakan model pembelajaran langsung alias ceramah atau konvensional. Mungkin tersebab oleh paparan pembelajaran berpola satu arah (one way) bahkan no action, talk only (NATO) yang terlalu lama. Model pembelajaran demikian ini kurang memberdayakan kemampuan berpikir siswa dan mahasiswa. Mengapa demikian?
Banyak pakar pembelajaran menyatakan bahwa siswa cenderung hanya menerima informasi dari gurunya saja. Siswa kurang aktif dalam proses pembelajaran, tidak mendapatkan tantangan untuk mencari dan menemukan informasi baru. Siswa terkungkung, walaupun dunia di sekitarnya sudah berkembang berbagai informasi dan pengetahuan baru bahkan telah sampai pada level RI 4.0 dan Society 5.0.
Pada era RI 4.0 dan society 5.0 ini masyarakat pendidikan dituntut mewujud sebagai pencipta pengetahuan baru (creator), itulah maka content creator menjadi trending topic di era Society 5.0 saat ini. Pendidikan di sekolah akan menjadi tulang punggung kontributor dalam membentuk masyarakat yang berkapasitas sebagai pembangun, pencipta atau penemu pengetahuan baru. Melalui apa tuntutan ini bisa dijawab?
Pembelajaran yang memberdayakan kemampuan berpikir dan keterampilan hidup abad ke-21 adalah jawabannya. Pembelajaran dengan pendekatan inkuiri (Inquiry Based Activity, IBA) biasa disebutnya. Sayangnya pembelajaran kita belum banyak bertransformasi kepada IBA. Menjadi pesimis ketika dikabarkan bahwa di berbagai sekolah dan kampus, masih sangat massif praktik pembelajaran konvensional yang dilakukan oleh guru dan dosen, bahkan sampai sekarang pun praktik pembelajaran satu arah itu masih banyak terjadi. Dengan berbagai alasannya, guru dan dosen masih memeluk erat praktik pembelajaran konvensional sepenuhnya. Jadi, langkalah praktik pembelajaran yang memberdayakan kemampuan berpikir sebagaimana menjadi tuntutan keterampilan hidup abad ke-21 itu.
Sesungguhnya telah tersedia berbagai model pembelajaran yang memberdayakan kemampuan berpikir siswa. Akbar et al (2023) merangkum setidaknya tersedia 100 model pembelajaran inovatif yang jika dipraktikkan akan memberdayakan kemampuan berpikir siswa.
Sementara itu Tibabari dan Muliana (2024) menyebut terdapat 120 model pembelajaran modern yang disinyalir akan meningkatkan kemampuan berpikir dan keterampilan kolaborasi siswa. Kalau melihat ketersediaan model pembelajaran inovatif ini, maka kita pantas merasa optimistis. Akan tetapi karena jarang sekali atau bahkan tidak pernah dipraktikkan, maka pembelajaran yang banyak terjadi dan mendominasi di lapang adalah pembelajaran yang tidak inovatif, tidak modern dan tidak memberdayakan.
Setiap pembelajaran inovatif selalu diawali dengan pemaparan terhadap problem atau permasalahan. Problem ini merupakan stimulasi untuk menantang kemampuan berpikir. Dari pemaparan problem kemudian dilanjutkan kepada analisis problem untuk mencari apa penyebab problem muncul, alternatif solusi dan pemilihan solusi yang paling tepat untuk mengatasi problem tersebut. Sebagai contoh dikemukakan di sini adalah problem lingkungan. Problem ini sangat marak dan mudah dijumpai karena sudah sangat mengkawatirkan sehingga mudah untuk dianalisis ke dalam akar penyebab dan alternatif solusinya.
Langkah selanjutnya adalah menyusun rencana solusi. Rencana solusi ini didasarkan pada pertimbangan keterlaksanaan baik secara teknologi maupun pembiayaan dan mendapatkan dukungan dari kelompok. Langkah berikutnya adalah membuat laporan hasil karya dan mempresentasikannya. Semua langkah ini dikerjakan dalam kelompok. Setiap kelompok anggotanya selalu diminta melakukan kerjasama atau bekerja secara kolaboratif. Oleh karena itu, tidak ada anggota kelompok yang hanya ikut menumpang nama saja.
Untuk mengkondisikan hal ini maka sebelum memulai aktivitas, perlu dibentuk kelompok terlebih dahulu dan pengarahan kerja tiap anggota kelompoknya.
Mendasarkan pada langkah yang membangun pembelajaran inovatif, maka sangat mungkin keseluruhan langkah belajarnya tidak selesai dalam satu pertemuan, mungkin butuh lebih dari dua atau tiga pertemuan sehingga baru dapat tuntas setelah dua atau tiga minggu pembelajaran. Hal inilah yang menjadikan pembelajaran inovatif membutuhkan waktu lebih lama. Sesungguhnya tidak ada masalah dengan waktu lebih lama yang diperlukan, yang lebih penting dari penerapan model inovatif ini adalah terbangunnya kemampuan berpikir siswa. Diyakini dan terdapat banyak bukti bahwa proses belajar pada model inovatif akan mampu menantang dan membangun kemampuan berpikir tingkat tinggi (HOTS), dan hal itu adalah makna belajar yang sesungguhnya. Jadi waktu lebih lama diperlukan untuk membangun kemampuan belajar dan berpikir siswa dengan belajar yang penuh makna. Konon kabarnya kurikulum merdeka mengakomodasi akan hal ini.
Masih menjadi pertanyaan yang menggoda pikiran kita, mengapa kebanyakan guru atau dosen belum mempraktikan model pembelajaran inovatif? Hasil investigasi di lapang pada guru yang sedang mengikuti PPG dalam jabatan tahun 2022 menunjukkan fakta sebagai berikut: belum pernah mendapat pelatihan (25%), khawatir menyita waktu lama jika menerapkan langkah-langkahnya (18%), khawatir salah menerapkan (15%), lebih nyaman dengan pola konvensional (13%), tidak mendapat sanksi apapun bila tidak menerapkan (12%), tidak cukup paham dan terampil (11%), dan perlu banyak persiapan (5%). Sementara itu, pada tahun 2023 kondisinya sebagai berikut: belum pernah mendapat pelatihan (20%), khawatir menyita waktu lama jika menerapkan langkah-langkahnya (21%), khawatir salah menerapkan (15%), lebih nyaman dengan pola konvensional (15), tidak mendapat sanksi apapun bila tidak menerapkan (10%), tidak cukup paham dan terampil (8%), dan perlu banyak persiapan (7%). Terdapat pergeseran persentase untuk setiap termin yang terungkap dan ini menunjukkan terjadinya dinamika,
Sekalipun investigasi tersebut perlu di tingkatkan validitasnya namun masih dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi yang melatar belakangi minimnya implementasi pembelajaran yang memberdayakan kemampuan berpikir siswa. Tampaklah bahwa penyebab tertinggi atas minimnya implementasi pembelajaran inovatif di lapang adalah karena belum pernah mendapatkan pelatihan. Alasan berikutnya adalah kekawatiran akan timbulnya kesalahan dalam menerapkannya. Kedua alasan ini tampaknya bersinergi sebagai sebab akibat (mutatis mutandis).
Mencermati hasil investigasi di atas, timbullah rasa pesimistis terhadap kualitas pembelajaran kita. Sepertinya sulit juga mengubah pembelajaran dari satu arah menjadi berpola banyak arah (multy ways multy entry). Itulah maka praktik pembelajaran yang digdaya berada dalam jumlah yang masih langka, sedikit atau bahkan belum ada. Namun demikian, kita harus bertekad untuk berubah. Tak ada pilhan lain kecuali harus berubah. Berubah mulai dari aspek pola pikir (mindset) hingga aksi nyata, dari skope pribadi hingga masyarakat. Tidak cukup berskope individu, namun diperlukan kebersamaan dengan masyarakat, diperlukan masyarakat pebelajar (learning community) yang mendukung, sehingga perubahan dan peningkatan kualitas pembelajaran menjadi gerakan dan membudaya. Guru penggerak menjadi komponen penting dalam membentuk learning community yang peduli kepada pembelajaran berkualitas.
Wallaahua’lam bisshowab