Opini

Alarm Bahaya Degradasi Lahan

Avatar
1310
×

Alarm Bahaya Degradasi Lahan

Sebarkan artikel ini
Alarm Bahaya Degradasi Lahan
credit: globalchallenges.ch

Alarm Bahaya Degradasi Lahan

Oleh: Dr. Husamah, S.Pd., M.Pd. (Dosen Ilmu Lingkungan di Pendidikan Biologi FKIP Universitas Muhammadiyah Malang)

Berbagai negara yang terafiliasi pada United Nation Convention to Combat Desertification (UNCCD), termasuk Indonesia, kembali memperingati World Day to Combat Desertification (WDCD) atau Hari Penanggulangan Degradasi Lahan dan Kekeringan Sedunia. WDCD diperingati setiap tanggal 17 Juni. WDCD ditetapkannya oleh Majelis Umum PBB melalui resolusi A/RES/49/115 tahun 1994. WDCD diorientasikan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dunia akan masalah penting yang banyak dihadapi, yaitu degradasi lahan.

Tahun 2024 ini, menurut laman UNCCD.int, tema yang diusung adalah “United for Land. Our Legacy. Our Future” atau “Bersatu untuk Lahan. Warisan kita. Masa depan kita”. Momentum untuk sekaligus memperingati 30 tahun UNCCD ini, menekankan kekuatan transformatif pengelolaan lahan berkelanjutan untuk mengatasi tantangan global saat ini dan menciptakan cetak biru masa depan lahan yang lebih baik untuk semua generasi. Tema ini merupakan seruan tegas untuk mendorong aksi global dalam restorasi lahan dan ketahanan terhadap kekeringan.

Sementara itu, pada tahun 2023, WDCD mengambil tema “Her Land, Her Right” yang berarti “Tanahnya, Hak-haknya”. Fokus WDCD 2023 adalah pada hak perempuan atas tanah untuk mencapai tujuan global terkait kesetaraan gender dan netralitas degradasi pada lahan. Momen tersebut sekaligus mendorong kontribusi pada kemajuan pembangunan yang berkelanjutan.

Berbagai literatur menjelaskan bahwa degradasi lahan merupakan proses penurunan produktivitas lahan yang sifatnya sementara maupun tetap, dicirikan dengan penurunan sifat fisik, kimia dan biologi. Dampak lanjutan dari proses degradasi lahan adalah timbulnya areal-areal tak produktif yang kemudian dikenal sebagai lahan kritis. Lahan kritis merupakan kondisi lahan yang terjadi akibat penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan seharusnya, sehingga mengakibatkan terjadinya kerusakan lahan secara fisik, kimia maupun biologis.

Potret Degradasi Lahan
Sejatinya, sebagaimana menurut Food and Agriculture Organization (FAO), lahan yang sehat tidak hanya menyediakan hampir 95% makanan bagi kita, namun lebih dari itu: lahan memberi kita pakaian dan tempat berlindung, menyediakan lapangan kerja dan mata pencaharian, serta melindungi kita dari kekeringan, banjir, dan kebakaran hutan. Sayangnya, sebagaimana UNCCD (2024) memperingatkan bahwa laju penggurunan, degradasi lahan, dan kekeringan merupakan salah satu tantangan lingkungan yang paling mendesak saat ini. Diperkirakan, sebanyak 40% dari seluruh lahan di seluruh dunia sudah dianggap terdegradasi.

PBB memprediksi bahwa setiap detik, lahan sehat seukuran empat kali lapangan sepak bola menjadi terdegradasi, sehingga luasnya mencapai 100 juta hektar setiap tahunnya. Degradasi ini berdampak pada 3,2 miliar orang di seluruh dunia, terutama berdampak pada masyarakat pedesaan dan petani kecil yang bergantung pada lahan untuk penghidupan mereka. Kondisi itu kemudian menyebabkan meningkatnya kelaparan, kemiskinan, pengangguran, dan migrasi paksa.

Meningkatnya populasi manusia, ditambah dengan pola produksi dan konsumsi yang tidak berkelanjutan, memicu permintaan akan sumber daya alam, memberikan tekanan berlebihan terhadap lahan hingga mencapai titik degradasi. Desertifikasi atau penggurunan dan kekeringan mendorong migrasi paksa, menyebabkan puluhan juta orang setiap tahunnya berisiko mengungsi. Degradasi lahan menyebabkan terjadinya kematian akibat kelaparan, sebanyak 16 orang setiap menit, dan 12 diantaranya adalah anak-anak.

Bagaimanapun, kita harus sadar bahwa lahan adalah sumber daya yang paling berharga untuk menjamin stabilitas dan kesejahteraan miliaran orang di seluruh dunia. Faktanya, dari 8 miliar penduduk dunia, lebih dari satu miliar generasi muda di bawah usia 25 tahun tinggal di negara-negara berkembang, khususnya di wilayah yang bergantung langsung pada lahan dan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Bagaimana di Indonesia? Tidak ada angka pasti mengenai besarnya degradasi lahan maupun lahan kritis di negeri ini. Namun, tahun 2018 Direktorat Jenderal PDASHL Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) merilis bahwa luas lahan kritis tercatat sebesar 14,01 juta hektar. Wahyunto dan Dariah (2014) dalam publikasi ilmiahnya bahkan pernah mencatat bahwa lahan yang telah terdegradasi berat dan menjadi lahan kritis luasnya sekitar 48,3 juta ha atau 25,1% dari luas wilayah Indonesia. Untuk lahan gambut dari sekitar 14,9 juta ha lahan gambut di Indonesia, ± 3,74 juta ha atau 25,1 % dari total luas gambut telah terdegradasi dan ditumbuhi semak belukar.

Degradasi lahan terjadi di semua wilayah Indonesia, tersebar di Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Degradasi lahan diakibatkan oleh banyak sebab, yaitu laju peningkatan populasi penduduk, kemiskinan, bencana alam, penggunaan dan pengelolaan lahan yang tidak tepat, pembangunan infrastruktur, penggunaan bahan kimia sintetik, pertambangan, serta proses reklamasi dan rehabilitasi pasca tambang yang tidak mengikuti kaidah dan aturan yang berlaku.

Upaya Bersama
Sebagaimana tema WDCD yang telah ditetapkan tersurat amanah bahwa “United for Land” “Bersatu untuk Lahan”. Dengan demikian, perlu upaya kolektif untuk melindungi dan memulihkan lahan terdegradasi atau kritis. Upaya ini sangat penting untuk mengakhiri kemiskinan dan kelaparan, mencapai ketahanan pangan, dan meningkatkan penghidupan jutaan orang, terutama di negara-negara berkembang. Selain itu, kerja kolektif ini sangat penting dalam upaya mencapai target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs). Pada poin SDGs itu telah dicanangkan target keseimbangan antara degradasi dan rehabilitasi pada tahun 2030 (2030 Zero Net Land Degradation).

Kembali merujuk pada FAO (2024), dalam upaya memulihkan dan meningkatkan ketahanan dan produktivitas ekosistem, beberapa prinsip berikut harus diprioritaskan. Pertama, kita harus memprioritaskan peran perempuan dan generasi muda yang merupakan pemangku kepentingan penting dalam kesehatan lahan dan paling menderita akibat degradasi lahan. Perempuan dan generasi muda penting untuk memastikan bahwa restorasi lahan berbasis ilmu pengetahuan dan berpusat pada masyarakat menjadi warisan kita untuk generasi mendatang. Kedua, kita tidak dapat mengatasi degradasi lahan tanpa membuka potensi ekonomi dari lahan terdegradasi dan lahan kering serta membangun kembali sistem pertanian pangan yang lebih tangguh. Ketiga, restorasi lahan skala besar sangat penting untuk memerangi degradasi lahan. Keempat, kita perlu menggunakan sistem pemantauan dan evaluasi yang inovatif untuk mengukur kemajuan dalam mencapai netralitas degradasi lahan.

Secara khusus, kita berharap bahwa pemerintah menjadi motor penggerak dalam kerja kolektif ini. Sudah saatnya pemerintah tidak gegabah dalam mengambil kebijakan. Terlebih dengan hanya kebijakan tebar pesona, tanpa perhitungan yang matang. Bagaimanapun harus diakui, misalnya, program food estate justru menimbulkan bencana alih-alih memenuhi target swasembada pangan.

Secara khusus pengakuan Biro Komunikasi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (2023) patut dicatat. Alih fungsi hutan, sebagaimana yang terjadi pada wilayah food estate di Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan Papua memiliki risiko lingkungan dan sangat mungkin memunculkan masalah baru. Alih fungsi hutan berdampak pada hilangnya habitat (habitat loss), pemecahan habitat (fragmentation) hingga penurunan kualitas habitat (habitat degradation). Pada akhirnya, ketiga dampak tersebut mengancam kelestarian keanekaragaman hayati. Selain itu perubahan area hutan menyebabkan perubahan area tangkapan hujan (rain catchment) menimbulkan bencana alam.

Kerja kolektif dan komunal perlu disegerakan serta konsisten. Model kemitraan antara pemerintah, BUMN, swasta dan masyarakat harus diterapkan. Implementasi CSR perusahaan pengelolaan dalam hutan (pengusaha pertambangan dan pengusaha kehutanan) harus benar-benar diarahkan untuk memulihkan lahan kritis dan terdegradasi, misalnya dengan penanaman pohon. Kegiatan penanganan lahan terdegradasi lahan dan kritis dapat dilakukan dengan kembali menggiatkan pemberian bibit gratis, kebun bibit rakyat, dan agroforestri. Pelibatan masyarakat umum, lembaga-lembaga pendidikan dari jenjang dasar hingga perguruan tinggi, LSM, dan organisasi kemasyarakatan mutlak diperlukan.

Selain itu, sudah saatnya pemerintah selaku pengambil kebijakan menyadari bahwa sejatinya ekosistem industri di Indonesia dapat dibangun tanpa melakukan alih fungsi hutan. Industri dapat saja menerapkan pemulihan lahan kritis dan terdegradasi. Komitmen penegakan hukum untuk pengusaha yang menjadi penyebab terdegradasi dan kritisnya lahan juga harus benar-benar dilakukan. Oleh karena itu, kita butuh hukum yang adil dan tidak koruptif.

Akhirnya, jika kita konsisten dengan implementasi ide-ide tersebut maka lahan akan Lestari dan dapat diwariskan kepada generasi yang akan datang. Kebijakan pemanfaatan lahan secara bijak, penanganan dan pemulihan lahan yang konsisten inilah yang akan membantu mewujudkan kesejahteraan, keamanan, dan ketahanan pangan, khususnya dalam lingkungan bangsa Indonesia. Insha Allah.

Google News

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Hari Santri