Menerka Logika SMA Tanpa Jurusan
Oleh: Nurwidodo
(Doktor, Pendidik di Pendidikan Biologi FKIP UMM)
Dunia pendidikan di Indonesia saat ini dikejutkan dengan aturan baru, SMA tanpa penjurusan. Sudah bukan sekedar issue, tetapi sudah menjadi kebijakan. Kebijakan ini datang dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, yang dikomandani oleh bapak Nadiem Anwar Makarim.
Sebagai respon terhadap kebijakan ini, tentu saja muncul silang pendapat dari para pakar dan praktisi pendidikan kita, karena penjurusan di SMA sudah berlaku dalam kurun waktu yang sangat lama. Siswa maupun orang tuanya sudah bersetuju dengan kebijakan penjurusan tersebut.
Penjurusan di SMA sudah mendarah daging sehingga sangat aneh terasa bagi sebagian besar orang untuk menerima atau membenarkan kebijakan tersebut. Lebih dari 70 tahun generasi kita mendapatkan pendidikan di SMA dengan penjurusan sebagaimana selama ini banyak siswa mendapatkannya. Dahulu tersedia jurusan IPA, IPS, Bahasa dan Sastra dan dengan syarat tertentu siswa dapat memilihnya. Jurusan tertentu mensyaratkan minat dan perolehan nilai yang menjadi kriterianya.
Penjurusan ini dilakukan di kelas 11 atau kelas 2 SMA. Banyak siswa yang berupaya dapat dimasukan ke jurusan IPA, tetapi banyak pula yang ingin dimasukkan ke jurusan IPS atau Bahasa. Pada suatu masa pernah terjadi kebijakan bahkan sekolah diidentikkan dengan jurusan tersebut sehingga ada SMA A untuk jurusan IPA, SMAB untuk jurusan IPS semua dan SMA C untuk jurusan Bahasa dan Sastra pada semua kelasnya.
Penjurusan tersebut berkonsekuensi pada penjurusan di Peguruan Tinggi, dimana jurusan IPA di SMA akan leluasa memasuki proram studi berbasis ilmu eksakta seperti kedokteran, teknik dan pertanian, maupun berbasis ilmu sosial humaniora. Semetara itu untuk IPS dn bahasa cenderung mengarah pada prodi humaniona (hukum, ekonomi, psikologi, sastra, pendidikan dan lainnya). Tidak saklek atau ketat sesungguhnya, karena beberapa prodi memungkinkan untuk menerima ketiga jurusan tanpa persyaratan. Namun pada umumnya jurusan IPA memperoleh lebih banyak keleluasan untuk memilih program studi di Perguruan Tinggi. Jurusan IPA sering diidentikkan dengan kemampuan berpikir tingkat atas. Sehingga, mereka banyak diterima di berbagai program studi.
Sementara itu, jurusan IPS atau Bahasa, tidak seperti IPA, sehingga mereka memiliki keterbatasan dalam menembus seleksi masuk Peguruan Tinggi. Memang belum pernah ditemukan alumni dari jurusan IPS berhasil lolos pada seleksi mahasiswa untuk program studi keteknikan atau kedokteran.
Lalu apa yang menjadi latar belakang akan dihapuskannya penjurusan di SMA?
Hal ini menjadi menarik perhatian para analis pendidikan untuk menelaah faktor penyebab dan konsekuensinya berdasarkan sudut pandangnya masing masing. Ada beberapa alasan diantaranya adalah (1) keinginan untuk mengenalkan atau mengembalikan belajar ilmu di tingkat menengah yang pada hakekatnya adalah kategori keilmuan umum atau general science, (2) keinginan untuk menjadikan sekolah tanpa sekat ilmu IPA, IPS dan Bahasa, (3) mengangkat pamor jurusan tertentu yang selama ini dianggap sebagai jurusan pilihan kedua (second alternative), dan (4) sebagai konsekuensi dari implementasi Kurikulum Merdeka.
Di beberapa Negara terdapat Perguruan Tinggi seperti Universitas British Columbia, Universitas Nebraska dan lain-lain dibuka suatu program yang disebut general science. Walaupun disebut sebagai general science, namun terdapat pilihan konsentrasi bidang ilmu yang menguatkan untuk pekerjaan atau profesi pada bidang tertentu. Oleh karena itu, bidang general science ini dapat diilustrasikan dengan gamblang seperti pada pekerja seni modern dengan menggunakan komputer, mengkomposisi lagu yang telah direkam sebelumnya dengan elektronik seperti pada disc jokey (DJ).
General science ini beroperasi pada karier tersebut. Bukan hanya itu, general science juga memungkinkan siswa untuk fokus pada bidang tertentu, seperti kimia saja, matematika saja, biologi saja, sosial saja atau manajemen saja. Sekolah menengah tanpa sekat ilmu (borderless) mungkin menjadi pertimbangan logika (common sense) untuk menerima idea SMA tanpa jurusan. Idiom ini memberi keleluasaan bagi siswa untuk belajar apa saja yang mereka mau.
Bahkan belajar dalam ilmu yang berbeda beda pada setiap kelas yang ditempuhnya. Hal demikian, pada prakteknya akan membutuhkan tata kelola baru dalam administrasi pendidikannya. Demikian pula dengan kelanjutan pendidikan di Pergurun Tingginya nanti, apakah ada kesinambungan atau tidak. Kemungkinan lain yang perlu mendapat pertimbangan adalah kariernya, dalam bahasa pertukangan mungkin disebut sebagai serabutan.
Mengangkat pamor jurusan di SMA yang sepi peminat sepertinya mendekat pada menghilangkan diskriminasi jurusan di SMA. Pada kenyataannya sebagian besar siswa dan orang tuanya menginginkan jurusan IPA. Alasannya jurusan IPA memberikan kesempataan yang lebih fleksibel dalam melanjutkan ke pendidikan tinggi. Jurusan IPA juga memberikan peluang karier yang lebih luas pada dunia pekerjaan. Tidak hanya itu, siswa jurusan IPA sering dianggap sebagai siswa yang lebih cerdas, lebih kreatif dari siswa jurusan lainnya. Sekalipun anggapan itu tidak seluruhnya benar, namun terlanjur melekat dalam benak siswa dan orang tuanya. Akibatnya jurusan IPS dan Bahasa mendapat peminat yang lebih sedikit, bahkan sering sepi tanpa peminat. Hal ini telah berlangsung lama dan di hampir di semua SMA.
Upaya menghapus penjurusan di SMA dengan demikian dapat menghilangkan diskriminasi yang selama ini terjadi.
Implementasi Kurikulum Merdeka menjadi rasional yang formal dari pemerintah. Kurikulum Merdeka ini membebaskan siswa untuk belajar tentang suatu mata pelajaran sesuai dengan minat dan pilihannya. Kurikulum Merdeka mendorong murid untuk melakukan eksplorasi dan refleksi minat, bakat, dan aspirasi karier, serta kemudian memberi kesempatan untuk mengambil mata pelajaran pilihan secara lebih fleksibel sesuai rencana tersebut.
Implementasi kurikulum merdeka pada tahun 2024-2025 yang sudah mencapai 80 sampai 90% di semua sekolah, memberikan konsekuensi pada dihapuskannya penjurusan di SMA. Sejak kelas 10 SMA, para siswa sudah dibimbing untuk memilih mata pelajaran sesuai dengan minat yang akan membantunya dalam memilih jurusan kuliah nanti. Dengan Kurikulum Merdeka, semua murid lulusan SMA dan SMK dapat melamar ke semua prodi melalui jalur tes tanpa dibatasi oleh jurusannya ketika SMA/SMK.
Penghapusan jurusan di SMA ini tentu membawa dampak bagi administrasi pendidikan di sekolah. Semisal pilihan bidang studi atau mata pelajaran oleh siswa tidak tersedia guru yang mengajarnya, ini menyebabkan tidak terlayaninya kebutuhan belajar siswa. Dampak lainnya adalah dimungkinkannya guru kehilangan jam mengajar ketika mata pelajaran yang diampunya tidak ada siswa yang memilihnya. Dampak yang lain lagi, mungkin pula guru kelebihan jam mengajar ketika mata pelajaran yang diampunya sangat diminati oleh siswa. Oleh karena itu, sekalipun penghapusan jurusan di SMA merupakan konsekuensi dari kurikulum yang berlaku, namun di masa yang akan datang, apakah kebijakan ini akan terus berlaku?
Sebagian pakar pendidikan menyatakan bahwa tidak ada jaminan yang menggaransi kebijakan Kurikulum Merdeka akan terus berlaku, setelah terjadi pergantian pucuk pimpinan di kementerian yang menentukan. Termasuk terhapusnya penjurusan di SMA, sangat mungkin akan terjadi perubahan kembali. Sangat mungkin bukan?
Wallahua’lam bisshowab