Example floating
Example floating
Pendidikan

Ketika Kelaparan Menjadi Budaya

83
×

Ketika Kelaparan Menjadi Budaya

Sebarkan artikel ini
Ketika Kelaparan Menjadi Budaya
FOTO: Dosen STKIP PGRI Sumenep, Matroni Muserang
Example 468x60

Ketika Kelaparan Menjadi Budaya

Oleh: Matroni Muserang (Dosen STKIP PGRI Sumenep)

ESAI, Mediapribumi.id — Siapa yang bertanggungjawab melihat kelaparan dan kemiskinan? Banyak seminar dan diskusi yang membahas kelaparan akibat kemiskinan, tapi hasilnya masih dalam dataran wacana, belum menyentuh realitas yang sebenarnya. Memang siapa yang mau kelaparan? Siapa yang mau menjadi manusia miskin? Kecuali kelaparan dan kemiskinan itu sendiri.

Kelaparan selalu menjadi moment aktual untuk kita wacanakan bersama, walau pun hasilnya juga sama saja. Artinya seminar dan diskusi apa pun bentuknya, tanpa ada kesadaran dari pemimpin kita, kelaparan akan menjadi budaya yang berkepanjangan di Indonesia.

Apakah masyarakat berdosa? Sehingga kelaparan hanya menimpa rakyat kecil. Atau memang pemimpin kita sudah tak mau lagi mendengar jeritan itu, apakah memang mereka memilih takdirnya sendiri, makanya pemimpin kita hanya mementingkan saku, dan keluarganya sendiri. Ini memang problems kompleks sampai sekarang belum terselesaikan. Kelaparan rakyat adalah kelaparan Indonesia. Jika rakyat masih banyak yang kelaparan, jangan harap Indonesia akan menjadi Negara yang damai, sejahtera, bahagia, dan bersih.

Kelaparan memang menjadi bencana yang ditakuti dunia. Negara manapun Amerika, Eropa, Jepang, dan negara lain yang merasa bisa sok tidak ada apa-apa dengan datangnya bencana kelaparan. Sekarang kita sudah merasakan apa itu bencana kelaparan bisa di lihat dimana-mana, karena itu budaya positivistik, pragmatistik, modernitas, dan kapitalisme yang sudah menjadi makanan kita setiap hari atau dengan kata lain sudah membumi menjadi budaya.

Lalu bagaimana sikap kita ketika kelaparan membudaya?. Apakah kita akan tetap diam dan tidur dalam mimpi-mimpi hampa? Alan Watts pernah mengingatkan kita berapa banyak orang yang menyadari bahwa langit adalah suatu yang sama dengan pikiran dan kesadaran, kalau engkau melihat dirimu sendiri batinmu ada bersama seluruh jasmanimu seperti halnya mukamu ada dibelakangmu galaksi ini dan juga galaksi lain sama jauhnya seperti engkau dan hatimu atau pikiranmu bahwa datangmu dan pergimu bangunmu dan tidurmu kelahiranmu dan kematianmu persis mengalami ritme yang sama dengan bintang-bintang dan kegelapan yang mengitarinya.

Kalau pemimpin kita menyadari kata Alan ini sudah tak layak kita mewacanakan kelaparan di Indonesia, karena keseimbangan masyarakat terjamin. Kelaparan yang telah memorak-porandakan Indonesia itu hanyalah sebagian dari bayang-bayang ekstrem dalam cermin dari porak-porandanya bangsa ini. Penyakit kita malah semakin parah dan hampir sekarat. Kita hanya bisa belajar mencari kambing hitam dan mencari kekayaan sendiri.

Inilah budaya kita bukanlah budaya Indonesia tapi budaya kelarapan yang hadir dari kegersangan kesadaran dari pemimpin kita.
Bagi orang yang masih mendahulukan dan menggunakan akal sehat serta nurani, kelaparan yang kini melanda bangsa kita, akan memaksa kita untuk melakukan mawasdiri.

Ada sejumlah kemungkinan penarikan “makna” dari kelaparan, sangat bergantung pada perspektif yang kita gunakan: perspektif ke-Tuhan-an (teologis), perspektif ke-alam-an, perspektif ke-manusia-an atau perspektif ke-filsafat-an. Yang jelas itu semua sangat penting dijadikan wadak dalam diri kita.

Bila kelaparan itu lebih sebagai akibat dari ketidakpedulian, bisa dimengerti bila bukan hanya Indonesia yang mengalami kelaparan, karena yang pertama kali mengalami kelaparan adalah manusia itu sendiri. Kelaparan yang diderita kita yang disebabkan tangan-tangan penguasa, dan pemimpin tidak pernah peduli. Sehingga, pada akhirnya rakyat kecil pula yang menerima akibatnya. Dengan kata lain, kelaparan lebih banyak disebabkan oleh terjadinya kerusakan penguasa. Kelaparan yang dicirikan oleh sikap sok tahu terhadap hukum dan ketidakpedulian penguasa terhadap akibat dari kinerja penguasa.

Padahal Indonesia adalah rumah tinggal yang sangat kaya dengan berbagai hiasan yang menghiasi rumah kita. Rumah yang harus dipelihara, dijaga, dan dipercantik bersama, bukannya dirusak atau di curi sendiri. Hanya penguasa yang telah kehilangan akal sehat dan rasa kemanusiaannya yang begitu tega merusak tempat tinggalnya sendiri.

Seharusnya kelaparan yang menimpa kita telah mampu menggedor dan membangunkan rasa kemanusiaan penguasa dari tidurnya. Tapi, akankah kemanusiaan kita terbangun untuk memperbaiki kelaparan yang kita telah rusak selama kita tertidur sekian lama. Atau, kita hanya bangun sesaat untuk kemudian kembali terlelap dalam tidur dengan mimpi-mimpi yang menakutkan. Padahal kelaparan telah lama menjerita kesakitan meradang dan menangis, memohon uluran tangan-tangan penguasa.

Padahal, siapa dan manusia mana atau makhluk lain yang mana, yang akan mampu memikul kelaparan? Kelaparan yang kita derita kini tak lebih tak kurang adalah sebagai akibat dari apa yang telah penguasa lakukan. Penguasa kita telah menutup mata dan telinga, bahkan hati, untuk menerima kenyataan yang akan menimpa kita, padahal kita mengetahui dan meyakininya, tapi mengapa penguasa lebih memilih diam?
Sebagai penutup esai ini sedikit puisinya Sigit al-Fianiskerty yang bisa menjadi renungan kita selama ada dalam ruang budaya kelaparan: jangan palingkan wajahmu, kalau kau terbaring tak berdaya, bercerminlah pada masa lalumu.

Example 300250 Google News
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *