Mediapribumi.id, Sumenep — Keputusan Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut lima orang perangkat Desa Badur, dengan hukuman delapan bulan penjara, dalam kasus pengrusakan lahan pertanian, yang menuai gelombang protes dari masyarakat setempat.
Warga Badur menilai, tuntutan tersebut terlalu ringan dan tidak mencerminkan keadilan bagi korban.
Kasus ini bermula dari perusakan lahan milik H. Nawawi, yang diklaim sebagai aset desa oleh para terdakwa. Meski dijerat dengan Pasal 406 jo170 KUHP, yang memiliki ancaman maksimal 5 tahun 6 bulan penjara, tuntutan yang diajukan JPU jauh lebih rendah, yakni hanya delapan bulan penjara.
Perwakilan keluarga korban, Mahmudi, mempertanyakan keberpihakan jaksa dalam kasus ini. Ia menilai jaksa lebih membela terdakwa ketimbang korban.
“Kami hanya ingin kejelasan hukum, tetapi justru seolah-olah kami yang dianggap menekan jaksa. Padahal, bukankah tugas jaksa adalah membela keadilan bagi korban?” ujar Mahmudi.
Kuasa hukum korban, Emil Ma’ruf Wahyudi, menyoroti dampak besar dari pengrusakan lahan tersebut. Menurutnya, tuntutan delapan bulan tidak sebanding dengan kerugian yang dialami korban.
“Jaksa menyebut kerugian hanya Rp3 juta, padahal yang dirusak bukan hanya bibit padi, tetapi juga lahan pertanian yang kini tidak bisa lagi digunakan karena ditimbun batu putih setinggi hampir satu meter,” jelas Emil.
Di sisi lain, pihak Kejaksaan Negeri Sumenep, membantah adanya intervensi atau kelalaian dalam menangani perkara ini. Kasi Intel Kejari Sumenep, Moch. Indra Subrata, menegaskan bahwa keputusan jaksa didasarkan pada fakta persidangan.
“Memang padinya milik korban, tetapi tanah yang dipersoalkan adalah aset desa. Jadi, kasus ini sebenarnya tidak seberat yang diberitakan,” kata Indra.
Ia juga membantah, tudingan bahwa jaksa dalam menjalankan tugasnya berpihak pada terdakwa. “Masyarakat silakan datang langsung ke persidangan dan lihat sendiri. Jangan asal menuduh ada permainan dalam kasus ini,” tegasnya.