Mediapribumi.id, Sumenep — “Baju ini saya temukan di tempat sampah,” kata Sa’duni (50 Tahun), warga Desa Torbang, Kecamatan Batuan, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, Jumat (11/4/2025).
Sehari-hari, Sa’duni menjadi pemulung di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) desa setempat. Bersama puluhan pemulung sampah yang lain, dia telah mahir “berdamai” dengan bau sampah yang sangat menyengat hidung.
“Ini (baju dinas Korpri) enak dipakai, longgar,” ujar Sa’duni sambil tersenyum.
Dengan ekspresi lugu dan sedikit malu-malu, Sa’duni mengaku tidak tahu bahwa baju yang dipakainya adalah seragam dinas Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri).
Dia juga tidak tahu bahwa, setiap tanggal 29 November, seluruh Aparatur Sipil Negara (ASN) di Indonesia merayakan ulang tahunnya.
Kepada media ini, Sa’duni mengaku sering menemukan pakaian seperti baju, celana, topi, bahkan mukenah di TPA tempatnya menyambung hidup.
Jika menurutnya masih layak, pakaian itu dia bawa pulang, dicuci, lalu dipakai lagi saat memulung sampah. Begitu setiap hari.
Baju dinas korpri yang dipakainya itu ditemukan sekitar satu minggu yang lalu. Sejak pertama kali ditemukan, baju “kebanggaan” ASN itu hingga hari ini terus dia kenakan.
“Kalau saya menemukan baju lagi, yang masih bisa dipakai, saya baru ganti baju,” terang dia.
Perempuan yang sudah menjanda selama 12 tahun itu menegaskan, bahwa dirinya tidak punya waktu untuk mengurusi penampilan karena pekerjaannya penuh bau dan kotor.
Dia lebih fokus mencari rongsokan yang masih layak jual sebanyak-banyaknya. Sebab, baginya, menyambung hidup lebih penting ketimbang membiayai penampilan seperti tuntutan zaman.
“Kalau sampai harus dandan, tidak cocok sama pekerjaanya Dek,” ungkap dia tanpa beban.
Bagi Sa’duni, semua baju bisa dia pakai. Tidak peduli baju itu “khas” perempuan atau laki-laki. Di tempat dia bekerja, fungsi baju semua sama: bisa menutupi badan, longgar dan tidak kepanasan.
“Kalau baju tidak pernah saya pikirkan, tapi kalau penghasilan, sering kepikiran,” ujarnya.
Setiap hari, perempuan dengan satu cucu ini bekerja dari pagi hingga sore. Tetapi hasilnya tetap belum cukup untuk memenuhi kebutuhannya.
Jika sedang beruntung, sehari dia bisa mengumpulkan rongsokan senilai Rp. 30.000. Tapi biasanya hanya Rp. 10.000 perharinya.
Seperti pemulung yang lain, dia berharap pemerintah bisa membantu memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Minimal memiliki pekerjaan dan penghasilan yang layak di masa tuanya.
“Saya pasrah pakai baju apa saja, Dek. Yang penting sehat, bisa mulung rongsokan, itu sudah bersyukur,” tutup dia.