Berita

Azas Monogami dalam Perkawinan, Begini Syaratnya Jika Mau Poligami

Avatar
956
×

Azas Monogami dalam Perkawinan, Begini Syaratnya Jika Mau Poligami

Sebarkan artikel ini
Azas Monogami dalam Perkawinan, Begini Syaratnya Jika Mau Poligami
Tampak depan, kantor Pengadilan Agama Sumenep

Mediapribumi.id, Sumenep — Azas perkawinan dalam Hukum Perkawinan di Indonesia adalah Azas Monogami, artinya seorang pria hanya boleh mempunyai satu istri dan seorang wanita hanya boleh memiliki satu orang suami.

Hal itu sebagaimana tertulis dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Namun, dalam UU tersebut, poligami diperkenankan dalam keadaan tertentu.

“Soal ada pendapat bahwa azas perkawinan adalah poligami, itu hak orang lain. Tapi dalam hukum yang berlaku di Indonesia adalah monogami,” kata Humas Pengadilan Agama Kelas 1 A, Kabupaten Sumenep, Hirmawan Susilo. Selasa (18/02/2025).

Menurutnya, poligami disebutkan dalam Pasal (2) UU yang sama, bahwa seorang suami boleh mempunyai istri lebih dari seorang jika dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan dan mendapatkan izin dari Pengadilan.

Menurutnya, ketika seorang pria takut tidak mampu berbuat adil, lebih baik menikahi seorang. Hal itu menjadi dasar perdata Islam bahwa azas pernikahan itu monogami.

Untuk keadaan tertentu, seorang suami boleh menikah lagi setelah mendapatkan izin dari Pengadilan Agama.

“Jadi, tidak boleh menikah dulu, baru mengajukan pengesahan. Karena, tidak ada isbat poligami,” tegasnya.

Lebih lanjut, Hirmawan menjelaskan, untuk mendapatkan izin dari Pengadilan syaratnya cukup banyak, ada yang alternatif dan ada yang kumulatif.

Diantaranya, harus mampu secara ekonomi. Sehingga, harus mencantumkan harta yang dimiliki dan nantinya ditetapkan oleh Pengadilan jumlah harta yang dimiliki oleh suami dengan istri pertamanya.

Selain itu, sambung Hirmawan, suami harus membuat pernyataan resmi mampu berbuat adil terhadap semua istrinya.

“Yang paling berat, harus ada persetujuan secara resmi dari istri pertamanya,” tambahnya.

Termasuk keadaan tertentu, adalah istri pertama tidak mampu berperan sebagai istri sebagaimana mestinya seperti disebabkan sakit atau tidak dikaruniai anak yang disebabkan oleh istrinya.

“Namun, hal ini tetap diwajibkan mendapatkan persetujuan secara resmi dari istri pertamanya,” paparnya.

Kendati demikian, hakim di Pengadilan Agama tetap memiliki kemandirian untuk memutus perkara tersebut, dengan pertimbangan yang mapan meskipun tidak mendapatkan izin dari istri pertama.

Ia mencontohkan, semisal, istri pertama tidak mau memberikan persetujuan, namun, tidak bisa berperan sebagai istri lagi.

“Hal ini tetap dengan pertimbangan hakim yang mapan dan memberikan keadilan terhadap kedua pihak yakni suami dan istri,” tutupnya.

Google News

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Hari Santri