Mediapribumi.id, Surabaya — DPR RI mengesahkan revisi Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib. Oleh karena itu, Pusat Studi Konstitusi dan Legislasi (PUSKOLEGIS) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya, merasa perlu memberikan anotasi serta pencerahan bagi publik terkait dampak dari revisi tersebut.
Direktur PUSKOLEGIS, Prof. Nur Lailatul Musyafaah menegaskan, dalam sistem demokrasi yang ideal, setiap cabang kekuasaan harus beroperasi dalam batasan konstitusional yang jelas, demi menjaga prinsip _check and balance_ dan menghindari kesewenang-wenangan.
Namun, pihaknya menilai, revisi Tata Tertib DPR yang disahkan dalam rapat paripurna pada 4 Februari 2025 justru menjadi ancaman serius bagi demokrasi konstitusional Indonesia.
Menurutnya, penambahan Pasal 228A dalam Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 bukan sekadar perubahan administratif, melainkan bentuk penyalahgunaan konstitusional (constitutional overreach) yang dapat mengancam stabilitas hukum dan demokrasi.
“Pasal ini memberikan DPR kewenangan untuk melakukan evaluasi berkala terhadap calon yang telah ditetapkan dalam rapat paripurna, yang berpotensi menegaskan supremasi absolut DPR atas keputusan yang telah diambilnya sendiri,” tegasnya. Jumat (21/02/2025).
Lebih jauh, norma ini membuka peluang bagi DPR untuk melakukan evaluasi dan bahkan mencopot pejabat tinggi negara, termasuk Pimpinan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), serta lembaga hukum lainnya seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Mahkamah Agung (MA), dan Mahkamah Konstitusi (MK).
Disamping itu, kata Prof Ila, tata tertib seharusnya bersifat internal dan tidak boleh dijadikan alat ekspansi kekuasaan legislatif atas eksekutif maupun yudikatif.
“Jika revisi ini tidak dikoreksi, maka ia bukan hanya menjadi anomali dalam sistem legislasi, tetapi juga preseden berbahaya yang menandai erosi prinsip pembagian kekuasaan,” ujarnya.
Prof. Ila menerangkan, beberapa aspek problematis dalam Revisi Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 diantaranya:
1. Revisi Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang tata tertib DPR yang mengatur hak evaluasi terhadap pejabat negara yang dipilih atau ditetapkan oleh DPR memperlihatkan dinamika politik yang semakin agresif.
Dalam doktrin hukum perundang-undangan, DPR sebagai original legislator hanya memiliki kewenangan atributif dalam pembuatan undang-undang, sementara self-regulation seperti Tata Tertib DPR bukanlah produk dari atribusi konstitusional maupun delegasi peraturan yang lebih tinggi.
Maka, sambungnya, hak evaluasi terhadap pejabat negara yang dipilih atau ditetapkan DPR harus dipahami sebagai instrumen internal, tanpa daya paksa ke luar batas parlemen.
Tak kalah penting, Prof Ila melihat, jika tidak dibatasi, DPR berisiko mengukuhkan dirinya sebagai quasi-jurisdictive body yang mengintervensi kewenangan eksekutif dan yudikatif tanpa landasan hukum yang benar.
Sejarah ketatanegaraan telah membuktikan bahwa setiap penyalahgunaan self-regulation berujung pada pergeseran kekuasaan yang liar, mengaburkan batas antara pengawasan dan dominasi.
Sehingga apabila revisi ini tetap diafirmasi akan menjadi senjata politik yang merambah ke ranah eksternal, membentengi sistem hukum dari potensi ekses yang mengguncang tatanan konstitusi.
2. Revisi Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 seolah menjadi bentuk keserakahan legislatif yang mencederai prinsip check and balances dalam ketatanegaraan.
Dengan memberikan kewenangan kepada DPR untuk melakukan evaluasi berkala terhadap pejabat yang telah melalui uji kelayakan dan kepatutan, revisi ini secara terang-terangan menggeser keseimbangan
kekuasaan dan menempatkan DPR sebagai lembaga dengan superioritas
absolut.
Revisi ini justru menempatkan DPR sebagai hakim tunggal atas pejabat publik yang seharusnya bekerja secara independen. Perluasan terhadap kekuasaan DPR dalam mencampuri lembaga lain yang konstitusional hanya terbatas, pada apa yang diatur di dalam konstitusi dan Undang-Undang yang mengatur tentang DPR yakni DPR menjadi salah satu lembaga yang hanya mengajukan, menyetujui dan memberikan pertimbangan kepada calon pejabat independen tertentu bukan untuk mengevaluasi atau bahkan mencopotnya (Excessive authority of legislative basic function).
Sehingga Prof Ila menggambarkan, selain kewenangan yang telah dibatasi dalam konstitusi, maka penambahan kewenangan DPR dalam mencopot pejabat lembaga negara yang muncul dalam Revisi Peraturan DPR tentang Tatib merupakan pelampauan
kewenangan atau bahkan abuse of power yang inkonstitusional.
3. Revisi Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 dengan penambahan Pasal 228A memperlihatkan pelanggaran secara terang terangan terhadap konstitusi, khususnya Pasal 24C UUD 1945 yang secara mutlak menetapkan Mahkamah Konstitusi sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang dalam penyelesaian sengketa kewenangan antar lembaga negara.
Dengan menciptakan mekanisme evaluasi terhadap pejabat negara yang ditetapkan DPR, revisi ini telah menggerus prinsip checks and balances, membuka ruang bagi supremasi legislatif yang otoritarian, serta secara sistematis mendeligitimasi kewenangan konstitusional lembaga yudikatif.
Tidak hanya itu, ketentuan ini juga bertentangan dengan Pasal 7A dan 7B UUD 1945, yang secara eksplisit menegaskan bahwa pemberhentian pejabat negara berada dalam ranah eksekutif dengan kontrol ketat melalui mekanisme hukum yang sah. Secara fundamental, revisi ini bukan sekadar penyimpangan prosedural, melainkan sebuah preseden berbahaya yang dapat menciptakan tirani parlementer. Oleh karena itu, revisi ini tidak hanya cacat hukum, tetapi juga merupakan bentuk pembangkangan konstitusi yang harus segera dibatalkan demi menjaga keseimbangan dan integritas sistem demokrasi konstitusional Indonesia, dan harus segera dianulir untuk menyelamatkan sistem hukum dan
demokrasi Indonesia dari kehancuran sistematis.
4. DPR RI berdalih bahwa revisi Tatib ini merupakan bentuk penguatan fungsi
pengawasan, tetapi justru menciptakan distorsi fundamental dalam tatanan
ketatanegaraan dengan mereplikasi kewenangan yang telah diamanatkan
kepada lembaga pengawas yang sah, seperti Komisi Yudisial, Ombudsman, dan
BPK. Alih-alih memperkuat sistem checks and balances, langkah ini justru menciptakan tumpang tindih kekuasaan yang kontraproduktif, memperbesar
risiko benturan kewenangan antar-lembaga dan melemahkan efektivitas
mekanisme pengawasan yang telah ada.
Terlebih kewenangan tambahan tersebut kental akan kepentingan politik yang ingin mengatur, mengendalikan bahkan dapat membungkam dan menelanjangi lembaga negara melalui upaya sentralisasi penyelenggaraan negara hanya melalui jalur politik praktis (politicization of state bodies), sehingga telah mengukuhkan DPR sebagai legislative heavy, lembaga super power, yang sangat rentan akan perilaku-perilaku koruptif. Jika DPR RI diberikan legitimasi untuk merekomendasikan pemberhentian pejabat tinggi negara, maka independensi lembaga penegak hukum dan yudikatif berada di ujung tanduk, karena keputusan yang seharusnya berbasis hukum dan etika profesional dapat terdistorsi oleh kalkulasi politik pragmatis.
Dalam konfigurasi ini, bukan hanya lembaga pengawas yang kehilangan relevansi, tetapi juga prinsip pemisahan kekuasaan yang seharusnya menjadi benteng demokrasi akan terkikis, membuka ruang bagi legislatif untuk mendominasi cabang kekuasaan lain di luar batas konstitusionalnya.
5. Perubahan Tata Tertib (Tatib) DPR RI yang memberikan kewenangan untuk
merekomendasikan pemberhentian pejabat tinggi negara bukan sekadar
anomali konstitusional, melainkan bom pengikis prinsip independensi hukum dan merobohkan fondasi demokrasi di Indonesia. Dengan komposisi yang didominasi oleh aktor-aktor politik partisan, DPR RI seolah menjelma menjadi episentrum kekuasaan yang berpotensi menciptakan distorsi dalam proses hukum yang mengubah mekanisme pemberhentian pejabat dari instrumen akuntabilitas menjadi senjata politik yang siap diarahkan demi kepentingan oligarki.
Kewenangan ini bukan hanya membuka gerbang intervensi legislatif terhadap lembaga independen seperti KPK, Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, dan Kepolisian, tetapi juga menandai babak baru dalam era politisasi hukum yang lebih masif dan terstruktur.
Jika DPR RI mampu mengendalikan nasib pejabat tinggi negara yang semestinya bekerja secara independen, maka sistem hukum akan terperangkap dalam bayang-bayang tekanan politik, kehilangan integritasnya sebagai benteng keadilan.
Lebih dari itu, fenomena ini menciptakan preseden otoritarian yang menggerus keseimbangan kekuasaan. Alih-alih menjalankan fungsi check and balances, DPR RI justru bertransformasi menjadi entitas superpower yang dapat menaklukkan mekanisme pengawasan dan mengonsolidasikan kekuasaan politik secara absolut.
Jika dibiarkan, bukan tidak mungkin dalam waktu dekat, hukum hanya akan menjadi stempel legalitas bagi kepentingan elite, sedangkan demokrasi sekadar jargon kosong yang kehilangan substansinya.
“Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, revisi Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib DPR bukan sekadar penyimpangan prosedural, tetapi ancaman sistematis terhadap konstitusi,” imbuhnya.
Dengan dalih penguatan fungsi pengawasan, menurutnya, DPR justru menciptakan mekanisme yang mendistorsi prinsip check and balance, membuka jalan bagi supremasi legislatif yang melampaui batas konstitusionalnya. Jika revisi ini dibiarkan, maka independensi lembaga negara akan runtuh, hukum akan kehilangan integritasnya, dan demokrasi akan terperangkap dalam bayang-bayang dominasi politik.
Secara resmi, Puskolegis UINSA menyampailan pernyataan sikap:
• Mendesak DPR RI untuk segera mencabut atau merevisi kembali Pasal 228A dalam Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020, karena tata tertib DPR seharusnya bersifat internal dan tidak boleh menjadi alat ekspansi kekuasaan legislatif.
• Meminta Presiden RI untuk menolak segala bentuk penyalahgunaan kewenangan legislatif yang mengarah pada dominasi politik yang berpotensi menghambat jalannya pemerintahan dan supremasi hukum.
• Mendorong Komnas HAM dan Ombudsman RI untuk mengkaji serta menginvestigasi potensi pelanggaran hak konstitusional akibat revisi Tata Tertib DPR.
• Mendesak Ketua Umum Partai Politik untuk mengingatkan kadernya di parlemen agar mematuhi konstitusi dan tidak melakukan akrobat politik yang merusak keseimbangan ketatanegaraan.
• Mengajak masyarakat sipil, akademisi, dan organisasi hukum untuk melakukan gerakan advokasi, kajian akademik, serta mengajukan petisi guna menolak revisi ini.
“Jika revisi ini tidak segera dikoreksi, maka independensi lembaga negara akan runtuh, hukum akan kehilangan integritasnya, dan demokrasi akan terperangkap dalam dominasi politik yang menggerus hak-hak konstitusional rakyat. Oleh karena itu, demi menjaga prinsip negara hukum yang demokratis, revisi Tata Tertib DPR ini harus segera dibatalkan,” tutupnya.