Mediapribumi.id, Sumenep — Sosok Safiruddin Jailani, putra Desa Sakala dan seorang konten kreator yang kerap menyebut dirinya sebagai “Cawapres Gen Z,” kembali menjadi sorotan publik, dengan pandangannya yang tajam mengenai isu sosial dan politik.
Jailani, melalui platform TikTok (@safirudinjailani) dan Instagram (@safiruddin.jailani), mengkritisi kebijakan pemerintah, yang dinilainya terlalu fokus pada ketahanan pangan, tanpa memerhatikan ancaman nyata dari kolonialisme digital.
Dalam unggahan TikTok-nya, Jailani menyebut bahwa Indonesia tengah menghadapi bentuk penjajahan baru yang disebutnya sebagai “kolonialisme digital.” Ia menyoroti, bagaimana algoritma perusahaan teknologi raksasa dari negara maju mengambil alih data dan memengaruhi pola pikir masyarakat Indonesia, tanpa banyak disadari.
Jailani berharap, bahwa meskipun jumlah penonton video tersebut kecil, pesannya dapat dicerna oleh seluruh masyarakat Indonesia agar fokus pada isu ini.
Ketahanan Pangan: Penting, Tapi Tidak Cukup
Jailani, yang juga merupakan mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam Universitas KH. Abdul Chalim Mojokerto, mengapresiasi upaya pemerintah dalam memperkuat ketahanan pangan sebagai bagian dari strategi keberlanjutan bangsa. Menurutnya, ketahanan pangan memang sangat penting untuk menjamin ketersediaan kebutuhan dasar rakyat.
Namun, ia menilai dengan tegas, hal ini belum cukup menghadapi tantangan global di era digital.
“Percuma kita punya ketahanan pangan kalau kita nggak punya ketahanan digital. Kita bisa saja punya cadangan beras, tapi kalau data kita dijajah, pola pikir kita dikontrol, dan ekonomi digital kita disedot keluar negeri, kita tetap kalah,” tegasnya dalam unggahan video.
Kolonialisme Digital: Ancaman Abstrak
Jailani, menyebutkan, bahwa saat ini Indonesia tidak hanya menjadi pasar besar bagi produk digital dari negara maju, tetapi juga menjadi korban eksploitasi data secara masif.
Dalam pandangannya, kolonialisme era baru ini tidak memerlukan senjata atau perang fisik seperti di masa lalu.
“Sekarang mereka nggak butuh perang. Mereka cuma butuh kita klik, data kita diambil, lalu otak kita dikontrol,” katanya.
Bahwa, ia mengaitkan hal ini dengan teori ketergantungan, yang menjelaskan bagaimana negara-negara berkembang sering menjadi pasar bagi produk negara maju.
Dalam konteks digital, Jailani, menggambarkan, eksploitasi ini terjadi melalui algoritma yang dirancang untuk menciptakan ketergantungan, mengendalikan opini publik, hingga memengaruhi kebijakan politik lokal.
Menurut Jailani, ketahanan digital adalah kunci untuk melawan eksploitasi ini. Ia mendorong pemerintah dan masyarakat untuk mulai serius membangun infrastruktur digital lokal, mendorong startup teknologi anak bangsa, serta meningkatkan literasi digital masyarakat.
“Bayangkan kalau kita terus-menerus jadi pasar tanpa pernah menjadi pemain. Kita cuma akan terus memberikan kunci rumah kita untuk dijajah,” ujarnya.
Ia juga menekankan bahwa literasi digital masyarakat sangat penting agar publik sadar akan bahaya eksploitasi data dan bisa melindungi privasi mereka.
Kritik dan Harapan untuk Pemerintah
Jailani, merupakan aktivis dari Pulau Sakala, Kecamatan Sapeken, Kabupaten Sumenep itu, secara terbuka mengkritik pemerintah yang dinilainya belum memiliki roadmap jelas untuk menghadapi kapitalisme digital.
Ia mengajak masyarakat, khususnya generasi muda, untuk lebih kritis terhadap dominasi perusahaan teknologi asing.
“Sudah saatnya kita berhenti ribut soal siapa presiden terbaik atau kebijakan terburuk. Kita harus fokus membangun kedaulatan digital. Kalau kita terus-menerus berdebat tanpa solusi, kita hanya akan jadi penonton di panggung global,” ungkapnya.
Sudut pandang Jailani, isu ketahanan digital memang belum menjadi fokus utama, namun hal tersebut sangat penting dan sudah seharusnya kita mulai peduli terhadapnya.
Hingga saat ini, Jailani, konsisten melalui platformnya, terus mendorong perubahan dan mengajak masyarakat untuk berpikir kritis. Dengan pengaruhnya yang terus bertumbuh, Safiruddin Jailani tampaknya bukan hanya sekadar “Cawapres Gen Z” di dunia maya, “Tetapi juga menjadi simbol perlawanan generasi muda terhadap bentuk kolonialisme baru di era digital,” tukasnya.