Mediapribumi.id — Ada bahasa yang dulunya disampaikan dengan nada dan suasana bercanda, namun kini hampir menjadi serius, yaitu “Orang Madura selangkah lebih maju dari orang China.” Hal ini untuk menggambarkan bahwa orang Madura seringkali bergadang di depan toko yang dimiliki orang China. Misalnya saja di depan toko emas yang dimiliki orang China ada orang Madura yang berjualan emas juga dengan menggunakan kotak kecil ala kadarnya.
Di depan pom bensin milik orang China ada orang Madura yang berjualan bensin eceran. Di depan hotel milik orang China ada orang Madura yang menjadi tukang parkir. Posisi orang Madura yang berada di depan tempat usaha yang dimiliki orang China tersebut disebut sebagai posisi lebih maju. Bagi orang Madura menyampaikan sesuatu memang terbiasa dengan cara yang jenaka, dalam banyak hal. Misalnya saja untuk menggambarkan orang Madura yang tidak dapat tempat duduk dari pertama naik bis sampai turun dari bis, disebutkan dengan “dari kenaikan sampai keturunan tidak dapat kedudukan.”
Diantara jenakanya orang Madura tersimpan semangat dan kerja keras yang juga hampir menyaingi kerja kerasnya orang China dan Jepang. Hal tersebut tergambar dari peribahasa yang umum di Madura, seperti “mon atane atanak” kalau bertani maka akan bisa makan. Jadi makan digambarkan sebagai suatu hasil dari bekerja seperti bertani. Makan tidak diperoleh dengan gratis namun perlu usaha, dan kerja keras, salah satunya bertani. Selain itu, ada pula peribahasa yang menggambarkan kerja kerasnya warga Madura “mon adegeng adeging,” artinya, bila ingin makan enak seperti makan daging, maka berusahalah, salah satunya berdagang. Makan enak bukan pekerjaan instan, namun perlu kerja keras.
Sebagai pekerja keras, ada fenomena menarik yang perlu diulas dalam konteks spirit ekonomi orang Madura. Spirit ekonomi yang dalam buku Kuntowijoyo disebut “Madura: Perubahan Sosial” sebagai masyarakat yang banyak merantau akibat daerah Madura yang gersang dan tandus. Kondisi tanah di Madura yang tidak bersahabat (/riend/y) tersebut dianggap sebagai faktor yang mendorong masyarakat Madura untuk merantau untuk mencari nafkah keluar Madura. Meski tidak seluruh wilayah Madura tanah gersang dan tandus, namun tidak dipungkiri bahwa sebagian wilayah Madura memang terdiri dari bukit kapur yang tidak dapat ditanami padi dan jagung.
Namun tidak semua warga Madura yang merantau karena kondisi tanah yang gersang dan tandus, ada banyak faktor lain yang membuat warga Madura merantau ke berbagai kota di Indonesia, atau bahkan merantau ke luar negeri, seperti yang banyak dilakukan orang Madura Kepulauan Kangean, dengan merantau ke negeri jiran Malaysia, juga orang Bangkalan dan Sampang yang merantau ke Saudi Arabia.
Salah satunya ingin belajar dan menuntut ilmu, seperti yang dialami oleh Prof. Dr. Bahri Gazali, MA, asal Kepulauan Sapeken sebagai orang pertama dari Kepulauan Madura yang menjadi guru besar di Yogyakarta. Bagi orang Madura, secara filosofis tidak ada yang instan, semua perlu proses dan proses tersebut adalah kerja keras. Salah satu proses kerja keras adalah merantau. Ada banyak tokoh dari Madura yang berhasil sukses setelah merantau. Beberapa yang bisa disebut seperti Said Abdullah dari Sumenep yang sukses menjadi politisi di Jakarta, bahkan berhasil menjadi Ketua Badan Anggaran (Banggar) di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).
Nama lain yang juga sukses di perantauan adalah Prof. Dr. Mahmud MD yang sukses meniti karir di Yogyakarta, dengan sederat jabatan di pemerintah pusat, sampai pernah menjadi Ketua Mahkamah Kontitusi (MK). Jauh sebelumnya, ada Mohammad Noer, putera Sampang yang berhasil menjadi Gubernur Jawa Timur. Sebelumnya ada Syaichona Kholil dari Bangkalan yang ketokohannya masyhur di seluruh Indonesia.
Kerja keras orang Madura tidak hanya tergambar dalam keberhasilan di bidang politik dan pemerintahan, namun juga di bidang ekonomi. Jumlah orang Madura yang berhasil di bidang ini tentu lebih banyak dari tokoh-tokoh yang disebutkan sebelumnya. Bila dapat disebut sebagai periodesasi gelombang ekonomi orang Madura, maka ada empat periode besar yang dapat dipetakan. Pertama, periode modal dengkul. Periode ini tergambar dari perantau dari Madura yang bekerja di sektor nonformal seperti tukang becak, kuli angkut, dan tukang parkir. Dengan modal dengkul ditambah sedikit nekad, orang Madura yang merantau di berbagai kota di Indonesia sukses dan berhasil eksis sebagai perantau. Mereka bekerja, kemudian menetap di kota-kota besar dan berhasil mengembangkan kemampuan ekonomi.
Kedua, periode skill plus modal uang. Periode ini digambarkan dengan banyaknya orang Madura yang masuk ke sektor usaha kecil yang juga memerlukan keahlian dan modal usaha, seperti tukang sate dan tukang cukur rambut. Orang Madura yang membuka usaha sate Madura tidak hanya berjualan secara individu atau perorangan, namun banyak yang membentuk kelompok, dimana satu orang pengusaha mempekerjakan banyak tukang jualan yang berkeliling. Begitu pula dengan tukang cukur rambut, biasanya banyak yang membuka usaha di beberapa tempat.
Ketiga, periode usaha besar atau korporasi. Hal ini ditandai dengan banyaknya orang Madura yang menjadi pengusaha besi, termasuk juga pengusaha besi tua, yang rata-rata dimiliki oleh pengusaha yang bertitel haji. Mengapa periode ini disebut sebagai usaha besar atau korporasi, karena untuk bisa mengelola usaha besi diperlukan lahan yang luas serta jaringan yang luas, sehingga pengusahanya dapat menjalankan usaha dengan lancar dan sukses.
Keempat, periode wiraswasta (entrepreneurship). Periode ini ditandai dengan menjamurkan usaha toko Madura 24 jam yang hampir ada di seluruh kota di Indonesia. Belum ada data pasti mengenai jumlah toko Madura 24 jam di seluruh Indonesia. Namun faktanya hampir di setiap kota, terutama kota-kota besar banyak sekali dapat ditemui toko Madura 24 jam. Pada satu sisi toko ini menghidupkan lahan atau tempat yang disewa, juga ada tenaga kerja yang dipekerjakan untuk menjaga toko ini. Secara langsung ada empat pihak yang mendapat keuntungan ekonomi dari toko Madura 24 jam ini, yaitu, pemilik toko, penjaga toko, pemilik tempat yang disewa, supplier barang yang dijual di toko tersebut. Selain itu tentu saja warga sekitar yang dapat berbelanja di toko Madura berbagai keperluan di dekat rumah, dan dilayani 24 jam.
Dengan kehadiran toko Madura 24 jam, orang Madura memiliki ikon baru setelah sebelumnya terkenal dengan tukang becak, tukang sate, dan pengusaha besi tua, kini memiliki ikon baru “pengusaha toko 24 jam”. Dulunya ikon toko 24 jam dimiliki oleh perusahaan ritel besar berjaringan di seluruh Indonesia. Pelan-pelan toko kelontong 24 jam dimiliki oleh orang Madura mampu menggeser ikon toko 24 jam ritel berjaringan. Ikon ini diperkuat dengan branding yang sempat viral di media sosial, terutama dengan tulisan “Toko Madura Buka 24 jam, hari kiamat buka setengah hari.” Branding semacam itu menguatkan ikon toko Madura yang buka nonstop, tanpa libur atau tutup.
Toko yang buka 24 nonstop tanpa libur tersebut sekaligus menguatkan spirit ekonomi orang Madura di perantauan sebagai pekerja keras. Kerja keras orang Madura di perantauan menghasilkan buah manis, berupa keberhasilan sebagai wiraswasta. Hal ini bisa dilihat dari peningkatan kesejahteraan orang Madura yang terlibat dalam usaha “toko 24 jam” baik dilihat dari rumah-rumah yang ada di Madura, dan kendaraan yang dimiliki, serta aset lainnya.
Pada periode keempat ini terlihat sekali sebagai momentum kebangkitan arus utama ekonomi Madura, sekaligus berkah bagi pengusaha di sektor lain. Misalnya perusahaan otobis yang beroperasi di Madura yang saat ini sudah mencapai belasan. Misalnya perusahaan bis yang melayani rute Sumenep-Jakarta dan sekitarnya saat ini semakin banyak. Dari yang dapat disebutkan ada Gunung Harta, Sinar Jaya, Tjipto, Pandawa, Madu Kismo, Haryanto, Pahala Kencana, dan Karina, belum travel lainnya yang menggunakan armada Hiace dan Innova. Padahal dulunya hanya ada Pahala Kencana, Karina, Keramat Jati, dan Mawar.
Belum lagi angkutan antar kota dalam provinsi seperti AKAS dan Pelita Mas. Untuk armada ini telah beroperasi 24 jam dari terminal Sumenep ke beberapa kota di Jawa Timur. Angkutan umum di Madura sudah tersambung ke berbagai kota lainnya di Indonesia seperti Jakarta, Bali dan lain lain. Untuk transportasi ada pula transportasi udara dan laut yang tersambung secara langsung sampai ke Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.
Sebagai penutup, sebuah teori tentang kebangkitan ekonomi, menyebutkan bahwa kebangkitan ekonomi dapat didorong oleh kemampuan kewirausahaan (entrepreneurship). Hal tersebut dikemukakan oleh Joseph Schumpeter dalam tulisannya yang berjudul “The Theory of Economic Development.” Menurut Schumpeter, kunci utama perkembangan ekonomi adalah inovasi yang dilakukan oleh para entrepreneur. Entrepreneur mampu meningkatkan standar hidup masyarakat dan memenangkan persaingan. Kerja keras orang Madura dalam membangun usaha berbasis kewirausahaan pada gelombang ekonomi keempat, tidak hanya dilihat sebagai keberhasilan orang Madura dalam membangun usaha individu dan memajukan ekonomi keluarga semata, namun dapat berkembang pada kontribusi orang Madura pada perekonomian daerah di Madura, atau bahkan perekonomian nasional. Sehingga keberadaan pelaku usaha toko Madura 24 jam perlu mendapat apresiasi, sebagai pahlawan pertumbuhan ekonomi nasional, setidaknya pahlaman ekonomi daerah.
Catatan Mohammad Hidayaturrahman, Dosen FISIP Universitas Wiraraja Madura & Direktur Center for Indonesian Reform