Oleh: (Diky Alamsyah/PMII STKIP)
Mediapribumi.id — Kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di Indonesia kini telah mencapai titik yang mengkhawatirkan. Kasus-kasus ini tak lagi hanya menjadi berita sesaat di media, tetapi mencerminkan kondisi sosial yang genting dan mengarah pada darurat kemanusiaan.
Menurut data Komnas Perempuan, lebih dari 300.000 kasus kekerasan terhadap perempuan tercatat hanya dalam setahun terakhir. Yang paling menyedihkan, anak-anak perempuan di bawah umur menjadi korban paling rentan. Penyebabnya pun bukan hal sepele: relasi kuasa yang timpang, ketimpangan gender, budaya patriarki, dan minimnya edukasi seksual yang komprehensif membuat perempuan dan anak berada dalam posisi yang rentan dan tak berdaya.
Sumenep juga tak luput dari ancaman ini,
jika anda berpikir ini hanya terjadi di kota besar, pikirkan ulang. Di Kabupaten Sumenep, kekerasan seksual terhadap anak juga menjadi momok yang terus menghantui. Dari data yang dirangkum, tercatat, tahun 2022: 40 kasus, 2023: 34 kasus, 2024: 50 kasus, hingga Juni 2025: 32 kasus. Artinya, dari awal 2022 sampai pertengahan 2025, sudah ada 156 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Sumenep saja. Yang lebih mengkhawatirkan, kasus pencabulan terhadap anak setiap tahun selalu ada, dan bahkan cenderung meningkat.
Dimana peran pemerintah daerah?
ironisnya, di tengah lonjakan angka ini, respons dari pemerintah daerah, khususnya dinas sosial dan dinas pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak (P3A) masih terkesan lemah dan tidak menyentuh akar permasalahan. Program yang dijalankan lebih bersifat reaktif daripada preventif, padahal upaya pencegahan dan pendampingan korban justru menjadi kunci untuk mengurangi kasus ini.
Masalah kekerasan seksual tidak cukup diselesaikan dengan menunggu laporan, memberikan bantuan sesaat, atau menyebar imbauan. Dibutuhkan kebijakan yang nyata, terstruktur, dan berkelanjutan.
Perempuan dan Anak Bukan Objek Kekuasaan
Perempuan dan anak bukan sekadar objek yang bisa dikontrol, dipaksa, atau dikorbankan demi kepentingan siapa pun. Mereka adalah manusia yang berhak hidup aman, dihormati, dan mendapatkan perlakuan yang bermartabat.
Dan jika kita, masyarakat, pemerintah, mahasiswa, terus membiarkan kekerasan ini terjadi, maka sejatinya kita juga menjadi bagian dari kejahatan itu.
PMII STKIP Menyerukan Perubahan:
Saatnya Bertindak! Melihat situasi yang mengerikan ini, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) STKIP Sumenep mengajak seluruh elemen bangsa untuk bersama-sama mendorong perubahan. Tak cukup hanya dengan marah dan prihatin. Kita perlu solusi konkret yang menyeluruh: dari pencegahan, penindakan hukum, hingga pemulihan korban.
Berikut langkah-langkah strategis yang kami usulkan:
Edukasi Seksual Sejak Dini
Anak harus dibekali pengetahuan tentang tubuhnya, batasan, dan hak atas dirinya. Ini bukan hal tabu, ini adalah perlindungan.
Penegakan Hukum yang Tegas (UU TPKS)
Negara sudah punya payung hukum melalui UU TPKS, tapi implementasinya masih jauh dari ideal. Hukum harus tegas dan berpihak pada korban.
Layanan Terpadu untuk Korban
Korban kekerasan butuh dukungan medis, psikologis, dan hukum secara berkelanjutan. Layanan ini harus tersedia dan mudah diakses.
Pemberdayaan Perempuan dan Komunitas
Perempuan harus dilibatkan sebagai agen perubahan. Organisasi lokal dan tokoh masyarakat perlu dilibatkan aktif.
Kampanye Publik dan Peran Media
Media harus mengambil peran lebih dari sekadar peliput kasus. Edukasi publik melalui media bisa jadi senjata utama perubahan budaya.
Kita Tidak Butuh Janji, Kita Butuh Bukti
Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak bukan sesuatu yang bisa “dimaklumi” atau “dinormalkan”. Setiap tindakan kekerasan adalah kejahatan yang merusak masa depan bangsa. Kita tidak butuh lebih banyak janji. Kita butuh tindakan nyata.
Dan untuk itu, kita semua punya tanggung jawab: mulai dari keluarga, sekolah, masyarakat, sampai pemimpin negeri ini.
Karena jika hari ini kita gagal melindungi perempuan dan anak, maka esok kita akan menuai generasi yang hancur, dan itu adalah kesalahan kita bersama.