Bupati Sumenep Belum Mendesak Diganti
Oleh: NK Gapura
Kehidupan dimulai saat ketakutan berakhir. Begitu juga dalam politik. Ketakutan itu beragam dan kadang melekat di alam bawah sadar. Bahkan ia mampu menciptakan ketergantungan. Dan dalam banyak dimensi, ketergantungan selalu menjadi addict yang tidak tertolong lagi.
Memasuki bulan Juli, hemat saya, bupati Sumenep belum perlu untuk diganti. Pertama, menjelang dibukanya pendaftaran, Agustus mendatang, belum ada lawan yang santer diperbincangkan. Kedua, dinamika politik yang berkembang, menunjukkan kemunduruan.
Hari ini, di Kabupaten Sumenep, PKB tak ubahnya partai Golkar. Keduanya sudah apatis untuk memperjuangkan gagasan di Pilkada November mendatang. Golkar masih bisa berdalih. Partai beringin ini tidak memiliki satupun kursi di Legislatif.
Sedangkan PKB, yang terhitung sebagai partai besar, (maaf) menjadi penakut dan tidak berani berbuat apa-apa. Ironisnya, kadernya hanya didorong menjadi “orang nomor dua”.
Fakta politis ini, menjadi cerita terburuk dalam perjalanan karir mereka. PKB sudah jauh berbeda. Dulu sungguh mandiri. Sedangkan hari ini (diduga) suka menghambakan diri.
Para politisi PKB merasa dihantui oleh ketakutan-ketakutan politis yang belum tentu terjadi. Karena ketakutan ini, para politisinya seakan telah mati suri. Dan demokrasi, di tangan wakil rakyatnya, menjadi ilusi yang sungguh sulit untuk dimengerti.
Walakin, dinamika politik hari ini, bisa menjadi momentum untuk koreksi dan kontemplasi. Bagaimana sebenarnya cara politik bekerja akhir-akhir ini? Apakah rakyat masih menjadi dasar etika untuk mengabdi?
Mengganti bupati, hanya perkara melawan pemodal. Tapi mengganti cara berpolitik, ini harus mengganti cara kerja akal. Akal politik kita, hari ini, sudah sangat pragmatis dan transaksional. Politik tidak ubahnya kehendak menguasai pasar. Hanya butuh modal besar.
Mengubah akal politik, terutama para politisi, lebih mendesak dari sekedar mengganti bupati. Jika yang terpilih di Pilkada mendatang bukan lagi Achmad Fauzi, siapa yang bisa menjamin bahwa bupati terpilih lebih baik lagi? Di samping itu, siapa yang akan menjamin bahwa berpolitik di Sumenep sudah tidak transaksional lagi?
Kata seorang kawan, politik di Kabupaten Sumenep perlu direset. Perlu ada bencana tsunami, yang meluluhlantakkan seluruh rumah dan bangunan politik yang ada saat ini. Tsunami politik ini harus lebih kuat dari sekedar perubahan. Ia harus menjadi tragedi yang mengerikan. Jika tidak demikian, frasa tsunami politik hanyalah gimmick yang layak ditertawakan.
Terakhir. Ini sekedar antitesa. Jika bupati tidak diganti, siapa yang akan menjamin bahwa dia tetap layak memimpin 5 tahun lagi? Salam awam saja.