URGENSI PENDIDIKAN KEAKSARAAN INOVATIF
Dr. Nurwidodo, M.Kes.
Kepala LMT FKIP UMM, Pengurus Pusat ALSI dan Ketua LSPTM se-Indonesia
Opini, mediapribumi.id — Hari Aksara Internasional (HAI) yang juga dikenal sebagai Hari Literasi Internasional diperingati setiap tanggal 8 September. Meskipun sudah berlalu cukup lama, karena saat ini kita sudah berada di akhir November, akan tetapi karena 25 November ini bersamaan dengan Hari Guru Nasional (HGN), maka tema literasi diangkat kembali dalam DIALOG pagi di programa (channel)1 FM RRI Malang. Acara menghadirkan nara sumber dua dosen senior dari FKIP Universitas Muhammadiyah Malang, Dr. Arif Budi Wurianto, M.Si (Kepala BIPA) dan Dr. Nurwidodo, M.Kes. (Kepala LMT).
Tujuan memperingati Hari Aksara Internasional adalah untuk menghargai pentingnya literasi dalam kehidupan manusia dan mendorong akses yang lebih baik ke pendidikan bagi semua orang di seluruh dunia. Peringatan ini bukan hanya tentang membaca dan menulis, tetapi juga tentang pemahaman, penalaran kritis, dan pemanfaatan informasi untuk membangun masyarakat yang lebih berpengetahuan. Hari Aksara Internasional ini menjadi kesempatan bagi masyarakat di seluruh dunia untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya literasi sebagai masalah martabat dan hak asasi manusia. Literasi membaca adalah kemampuan seseorang dalam memahami dan menggunakan makna dari sebuah tulisan yang dibacanya.
Indonesia memiliki kepentingan yang tinggi untuk meningkatkan literasi warga negaranya karena sampai saat ini tingkat literasi masyarakat kita masih rendah. Kondisi geografis Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau merupakan tantagan tersendiri. Daerah 3T paling banyak menjumpai masalah dalam kaitannya dengan literasi. Indikatornya masih banyak masyarakat yang buta aksara dari usia muda sampai dewasa. Bilamana buta aksara masih menjadi masalah yang belum terselesaikan, apalagi dengan masalah literasi lainnya seperti literasi numerasi, literasi keuangan, literasi sains, literasi budaya, dan literasi lainnya. Sebagai warga bangsa, kita memiliki rasa (sens of belonging) prihatin dan menjadikan hal ini sebagai bagian dari kepedulian kita, apalagi profesi kita sebagai guru tentu sangat berkepentingan untuk berkontribusi dalam meningkatkan literasi masyarakat di sekitar kita.
Literasi tidak berhenti pada tercapainya angka bebas buta aksara, tetapi berlanjut sampai dengan literasi pada aspek lainnya, seperti numerasi, budaya, keuangan, politik, sains dan teknologi. Apalagi perkembangan IPTEK dunia sudah mencapai taraf revolusi industry 4.0 (RI 4.0) dan revolusi masyarakat mencapai 5.0 (Society 5.0). Literasi dalam semua bidang ini sangat diperlukan untuk mewujudkan warga negara yang berdaya dalam semua bidang kehidupan, terlebih memasuki Indoesia Emas, tahun 2045.
Literasi di Indonesia Posisi Indonesia menempati urutan ke-62 dari 70 negara berkaitan dengan tingkat literasi. Itu artinya, Indonesia berada dalam 10 negara terbawah yang memiliki tingkat literasi rendah. Hal ini berdasarkan survei yang dilakukan Program for International Student Assessment (PISA) yang dirilis Organization for Economic Cooperation and Development pada 2019. Dengan rendahnya budaya baca Indonesia maka otomatis rendah pula indeks literasinya.
Tingkat melek huruf warga masyarakat kita masih belum tercapai secara tuntas.
Kasus buta aksara masih banyak dijumpai terutama di pedesaan, terlebih di daerah tertinggal, terluar dan terdeepan (3T). Banyak faktor yang menyebabkan kondisi ini terjadi, diantaranya adalah jangkauan layanan pendidikan yang belum sepenuhnya dapat diakses, kualitas pendidikan yang masih bermasalah, keadaan geografi yang menyulitkan dan faktor internal keluarga dan personal yang belum terbuka.
Berbagai faktor berikut ini ikut menyebabkan taraf literasi masyarakat masih rendah. Faktor tersebut meliputi tidak adanya kebiasaan membaca dari keluarga di rumah pada masyarakat Indonesia. Perkembangan teknologi yang semakin hari ini semakin canggih mempunyai peran cukup besar terhadap rendahnya literasi. Orang-orang lebih suka bermain gadget daripada membaca. Seharusnya dengan berkembangnya teknologi bisa dimanfaatkan untuk menambah wawasan dan menjadi bahan literasi.
Faktor lain yang kurang mendukung literasi adalah ketersediaan buku bacaan yang tidak mudah diakses di perpustakaan umum dan sebagian besar orang tidak tahu manfaat membaca.
Literasi di Daerah 3T
Di daerah 3T, kondisi dan situasi literasi tentunya memprihatinkan. Warga masyarakt banyak yang belum literate, bahkan di tingkat dasar, yaitu kemampuan membaca, menulis dan berhitung (calistung). Sangat diperlukan volunteer yang secara filantropi membantu warga di daerah 3T dapat mentas dari buta aksara. Sesungguhnya dari faktor personal warga, mereka memiliki antusiasisme yang tinggi untuk dapat membaca dan menulis, akan tetapi belum terjangkau oleh layanan pendidikan dan pembelajaran dari yang berwenang.
Kondisi keaksaraan nasional ini menjadi tantangan menarik untuk diselesaikan, tidak sekedar didiskusikan. Oleh karena itu, kondisi literasi masyarakat Indoesia mengundang para pemerhati dan pegiat pendidikan untuk terlibat dan berkontribusi dalam upaya menyelesaikanya. Tentu saja upaya itu harus bersinergi dengan pemerintah (kementerian pendidikan dan kebudayaaan) yang memiliki kewenangan utama melalui program programnya.
Literasi Inovatif
Sebagai warga sekolah, kita patut memberikan apresiasi kepada pemerintah yang telah menjadikan komponen literasi dan numerisasi sebagai bagian integral penyusunan profil sekolah yang harus dilaporkan setiap semesternya. Sebagai warga masyarakat kita juga patut memberikan apresiasi kepada pemerintah pusat yang menetapkan literasi dan numerisasi sebagai komponen yang harus dilaporkan dalam laporan (REPORT) Pendidikan Daerah. Kedua kepentingan tersebut merupakan upaya untuk meningkatkan literasi secara formal.
Upaya meningkatkan literasi harus dilakukan melalui pendidikan lierasi secara inovatif. Di masyarakat umum, upaya tersebut dapat ditempuh melalui peningkatan motivasi kepada masyarakat untuk gemar membaca dengan menyedikan buku bacaan yang menarik dan mendidik, membuat suatu event festival literasi, membuat taman kota yang tematik dengan tema literasi, dan meningkatkan minat baca serta kunjungan ke perpustakaan umum. Sementara itu di sekolah, pojok membaca siswa sudah banyak dilakukan akan tetapi happening art dengan tema literasi belum pernah di lakukan. Oleh karena itu, dalam rangka melengkapi pojok bacaan siswa, perlu sekaligus diprogramkan happening art berupa literasi atas konten bacaan yang dipilih siswa sendiri.
FKIP Universsitas Muhammadiyah Malang telah menempuh cara yang inovatif dalam kaitanya dengan Pendidikan Keaksaraan ini. Salah satu diantaranya adalah mengembangkan program sisterhood literate program atau kakak mengajar adik. Program ini dikembangkan oleh Husamah (Sekarang Doktor di bidang Pendidikan Biologi, Dosen FKIP UMM) pada tahun 2012 dan berhasil memenangkan reward PKMP. Sementara itu, hal paling up to date yang dilakukan FKIP UMM saat ini adalah mengembangkan program KKNDIK baik nasional maupun internasional dengan sasaran masyarakat 3T.
KKNDIK internasional telah dilakukan di Malaysia yang didukung oleh Konjen Pendidikan Indonesia. Aktivitasnya meliputi membentuk KBM dengan kegiatan mengajarkan CALISTUNG pada warga masyarakat yang kurang beruntung.
Dialog yang disiarkan programa-1 RRI Malang ini juga menyinggung pentingnya literasi budaya. Kedua narasumber bersepakat dengan audien terkait pentingnya memahhami budaya lokal sehingga tidak tergerus oleh budaya global. Audien memberikan tanggapan bahwa orang asing yang menjadi volunteer literasi kepada masyarakat di daerah 3T sering-sering memiliki misi tersendiri, terutama terkait dengan budaya dan agama. Oleh karena itu, audien meminta kita waspada agar tidak sampai kecurian. Atas masukan ini kedua narasumber menyampaikan perlunya kita sendiri yang mengambil kesempatan sebagai volunteer, melakukan pendidikan dan penggiatan literasi di lingkungan masyarakat 3T agar tidak sampai terjadi mal praktek pendidikan literasi oleh misionaris yang membawa maksud tersembunyi.