Mediapribumi.id, Jakarta — Keberagaman Indonesia diwarnai dengan perjalanan Panjang sejarah masa lalu yang mencerminkan nilai luhur dalam menjaga dan merawat kemajemukan dalam nafas kebhinekaan. Setidaknya dalam kurun waktu yang Panjang tersebut, kita dapat belajar banyak kepada sosok berkacamata yang duduk di atas kursi roda selama memimpin bangsa Indonesia menuju Gerbang kemajuan.
KH. Abdurrahman Wahid, seorang ulama besar yang meninggalkan warisan besar bagi pondasi dalam berbangsa dan bernegara di tengah kemajemukan dan perbedaan multi sektor yang ada di Indonesia. Sosok Presiden ke-4 yang sepeninggalnya mendapat gelar Bapak Pluralisme.
Menelusuri jejak karya yang barangkali belum termanuskrip dalam sejumlah literatur, penulis berkesempatan mewawancarai Bapak Budi S. Tanuwijaya, pria berdarah China Indonesia yang menerima hangat kedatangan kami yang akan Kembali membuka lembar kisah dari sosok yang dikenal Gus Dur. Dalam kesempatan ini, kami memilih Ummat Konghucu sebagai landscape utama, mengingat merekalah satu di antara sekian banyak kelompok minoritas yang Kembali mendapatkan hak-haknya sebagai negara yang diperjuangkan Gus Dur baik sebelum hingga sesudah menjabat Presiden.
Bertempat di Kantor Matakin di Sunter Jaya, Kec. Tj. Priok, Jakarta Utara, Budi S. Tanuwijaya menyebut Gus Dur merupakan sosok yang memahami betul kondisi ummat Konghucu imbas dari adanya Inpres No 14 tahun 1967 tentang Agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina yang dikeluarkan rezim orde baru.
“Tentu, Inpres ini benar-benar mengganggu keyakinan kami sekaligus merampas hak-hak yang harusnya kami dapatkan sebagai warga negara” Kata Budi S. Tanuwijaya.
Tidak berhenti di situ, kezaliman rezim orde baru juga berlanjut, di mana menurut Budi beberapa tahun kemudian keluar kebijakan menteri dalam negeri yang hanya memperbolehkan 5 agama dalam kolom KTP yang tentunya Konghucu tidak masuk di dalamnya.
Dalam kasus pencatatan sipil dan kolom agama di KTP, Budi S. Tanuwijaya Kembali menceritakan perjuangan Gus Dur saat masih menjabat Ketua Umum PBNU dengan melakukan pembelaan dengan menjadi saksi ahli di pengadilan terhadap kasus pernikahan umat konghucu di Surabaya.
“Ketika terdapat kasus pencatatan sipil pernikahan ummat konghucu di Surabaya, Gus Dur yang masih menjabat PBNU menjadi saksi ahli melakukan pembelaan melawan saksi ahli dari pemerintah” ungkapnya.
Jasa Gus Dur terhadap kembalinya hak menjalankan keyakinan dalam beragama bagi umat konghucu benar-benar menjadi titik balik kehadiran negara dalam menjalankan kewajibannya, Bapak Budi Kembali menceritakan sejarah dibalik lahirnya Keppres No. 6 tahun 2000 yang belum banyak diketahui publik. Proses tersebut diawali dari upaya seorang tokoh konghucu Bernama bapak pingki asal Surabaya Bersama bapak budi menghadap Presiden Gus Dur di Istana merdeka. Muncullah inisiatif dari keduanya untuk membicarakan perayaan imlek saat bertemu Gus Dur.
“Awal bulan november, pak pingky dari surabaya bersama pak budi menghadap gus dur di istana merdeka, dalam perjalanan di jl. sunter kemudian di depan masjid istiqlal, obrolan muncul untuk mengusulkan pada Gus Dur untuk mengizinkan perayaan imlek” cerita pak budi.
Dalam pertemuan tersebut, Presiden Gus Dur tanpa butuh waktu lama langsung menerima usulan perayaan imlek. Bahkan menurut Budi, tidak hanya memberikan izin namun Gus Dur justru meminta keduanya untuk melaksanakan Imlek di dua tempat sekaligus, yakni di Jakarta dan di Surabaya. Dimana Imlek untuk pertama kalinya dapat digelar tahun 17 Februari tahun 2000 di Balai Sudirman Jakarta, sedangkan Cap Gomeh berlangsung seminggu setelahnya di Surabaya.
“Ketika bertemu, Gus Dur tidak langsung menjawab setuju atau tidak, namun justru menyuruh untuk melaksanakan dua kali di Jakarta dan Surabaya” singkatnya.
Meskipun terbilang keduanya merasa belum siap atas perintah Gus Dur yang melampaui keinginan umat konghucu, namun Gus Dur beralasan perayaan imlek sudah lama sekali tidak digelar dan hal ini merupakan upaya untuk mengobati kerinduan mereka.
“Meskipun rombongan belum siap namun gus dur tetap meminta dua kali dengan alasan ini sudah lama tidak dilakukan dan mengobati kerinduan” kenang Budi yang terlihat berkaca-kaca.
Dibalik keputusannya yang singkat tersebut, menurut Pak Budi yang melanjutkan cerita dengan semangat menyebut ada hal yang tidak banyak orang ketahui, yakni Gus Dur sangat berhati-hati dalam menyiapkan keputusannya dengan memanggil sejumlah pejabat dan para Menteri untuk merumuskan segera keputusan tersebut.
“Kemudian Gus Dur berkonsultasi dengan Yusril Ihza Mahendra (menteri kehakiman), Mensesneg, Menteri pengendalian (bondan), Sekretaris Negara, Johan Efendi (dulunya penulis pidato pak harto)” jelasnya.
Hingga akhirnya, keputusan yang ditunggu-tunggu umat konghucu keluar berupa dikeluarkannya Keppres No. 6 tahun 2000 tentang Pencabutan Inpres no 14 tahun 1967 tentang Agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina. Meskipun begitu, rupanya aturan diskriminatif lainnya mengenai pelarangan kolom agama konghucu di KTP masih belum teratasi, sehingga dengan cepat Presiden Gus Dur memerintahkan Menteri dalam Negeri untuk mencabut aturan yang dulunya dikeluarkan Amir Hamzah pada pemerintahan Soeharto.
“Dalam proses tersebut, keluarlah Keppres 1 bulan sebelum imlek. namun KTP masih dilarang. langsung waktu itu memanggil Menteri dalam negeri untuk mencabut aturan Amir hamzah” lanjut budi bercerita.
Kesaksian Budi S. Tanuwijaya kemudian berlanjut dengan menunjukkan arsip dokumen berserah yang didalamnya menerangkan pengangkatan Presiden Abdurrahman Wahid sebagai Anggota Kehormatan Majelis Tinggi Agama Konghucu pertama di Indonesia. Dalam dokumen tersebut, Gus Dur menerima gelar anggota kehormatan tersebut ditandatangani pada tanggal 17 September 1998 di Jakarta.
“Ini Dokumen yang masih kami jaga dengan baik, ini dikeluarkan pada tahun 1998 untuk gelar anggota kehormatan Matakin kepada Gus Dur” ucap Budi.
Pembelaan Gus Dur lainnya terhadap ummat konghucu tidak hanya dilakukan melalui meja pemerintahan, dalam sebuah kesempatan menurut Budi S Tanuwijaya, Gus Dur menjadi pembela yang lantang terhadap kekosongan perwakilan Konghucu di Parlemen dengan menyebut Matakin adalah Mataku.
“Gus Dur pernah membantu MATAKIN dalam menuntut hak keterwakilan di Parlemen, Gus Dur sampai mengatakan “Matakin adalah Mataku” Pungkas Budi S Tanuwijaya mengakhiri wawancaranya.