Oleh: Nur Alfi Rahmayanti, Peneliti Pusat Studi Konstitusi dan Legislasi (PUSKOLEGIS)
Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya.
Proyek Strategis Nasional (PSN) merupakan bagian dari pembangunan nasional yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2015-2019 dan 2020-2024. Menurut Perpres Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan PSN, PSN adalah proyek dan/atau program yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah dan/atau badan usaha yang memiliki sifat strategis untuk peningkatan pertumbuhan dan pemerataan pembangunan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan daerah.
Hadirnya PSN di Indonesia di gadang-gadang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan pembangunan infrastruktur, namun sering kali menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat, tak terkecuali masyarakat hukum adat. Dalam banyak kasus, proyek yang diusung oleh pemerintah sering kali malah merampas hak masyarakat adat atas tanah wilayah dan sumber daya alam mereka yang telah dikelola dan ditempati bertahun-tahun secara turun-temurun.
Melihat adanya fenomena tersebut menjadikan suatu bahasan yang menarik untuk dicermati. Apakah benar PSN ini berangkat berdasarkan suatu kebutuhan masyarakat atau malah sebagai sarana merampas hak masyarakat adat.
Konseptualisasi Hak Masyarakat Adat
Masyarakat adat merupakan kelompok masyarakat yang memiliki sejarah panjang, budaya, dan hubungan yang erat dengan wilayah serta sumber daya alam. Mereka memiliki hak-hak yang diakui secara nasional maupun internasional, meskipun dalam implementasinya masih menghadapi berbagai tantangan.
Masyarakat adat merupakan kelompok orang yang hidup secara turun-temurun di wilayah geografis tertentu, diikat oleh identitas budaya, hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah, dan sumber daya alam di wilayah adatnya, serta sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum. masyarakat adat memiliki sistem pemerintahan sendiri, hukum adat, dan cara hidup yang berbeda dari masyarakat dominan.
Konseptualisasi hak masyarakat adat merujuk pada pengakuan negara terhadap hak-hak kolektif yang melekat secara turun-temurun, mencakup kedaulatan atas wilayah adat, identitas budaya, dan keadilan distributif Secara normatif, hak ini berakar pada prinsip kedaulatan (sovereignty) yang menjamin otonomi komunitas adat dalam mengelola wilayah dan sumber daya alam, serta hak identitas untuk melestarikan budaya dan sistem pemerintahan adat.
Pengaturan konstitusional Pasal 18B Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menegaskan perlindungan hukum atas tanah ulayat, hutan adat, dan warisan budaya sebagai hak komunal yang tidak dapat dialihkan. Dalam kerangka internasional, instrumen seperti UNDRIP (2007) dan ILO Convention 169 mengakui hak masyarakat adat sebagai bagian dari hak asasi manusia kolektif, termasuk hak menentukan nasib sendiri (self-determination) dan partisipasi dalam pembangunan.
PSN Sebagai Sarana Pemerintah
Pelaksanaan PSN merupakan upaya dalam mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 yang menitikberatkan pada pembangunan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pemerataan Pembangunan, dan kesejahteraan masyarakat. Namun sangat disayangkan bahwasannya proyek strategis nasional yang semula bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, implementasinya justru mengancam eksistensi masyarakat adat dan beberapa justru malah menjadi alat pemerintah dalam merampas hak masyarakat adat. Dalam konteks inilah, PSN dalam banyak hal merepresentasikan anomali.
Pada kasus proyek PSN Food Estate Merauke, yang awalnya bertujuan untuk meningkatkan ketahanan pangan dan menjadikan Merauke sebagai lumbung pangan nasional. Proyek ini mencakup pengembangan lahan pertanian skala besar, dengan luas hingga 1,2 juta hektar, untuk menanam komoditas seperti padi, jagung, dan tebu.
Akan tetapi masyarakat adat daerah tersebut menolak adanya proyek tersebut sebab dirasa dapat merusak hutan dan merugikan warga lokal. Selain itu PSN Food Estate Merauke disebut bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 serta berbagai peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan hak asasi manusia, hak masyarakat adat, hak petani, hak atas kebebasan berekspresi, serta hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Adapun kasus lainnya yaitu Rempang Eco City di Batam, Kepulauan Riau, merupakan ambisi besar yang bertujuan mengembangkan kawasan terpadu untuk industri, perdagangan, dan pariwisata. Namun, proyek ini mendapat penolakan dari warga setempat, terutama masyarakat adat yang merasa terancam kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian mereka. Konflik semakin diperparah oleh pendekatan represif melalui pelibatan aparat keamanan dan minimnya kajian lingkungan (AMDAL).
Data AMAN mencatat 134 kasus perampasan tanah adat dalam PSN sepanjang 2024, termasuk 2,8 juta hektar wilayah adat yang direbut untuk proyek infrastruktur dan pertambangan. Praktik ini mencerminkan paradigma pembangunan yang mengutamakan investasi dibanding perlindungan hak asasi, sebagaimana terlihat kedua proyek tersebut.
Penggalakan Konsep FPIC
Masyarakat adat memiliki hak dalam mengelola wilayah dan sumber daya alam mereka yang telah ditempati secara turun temurun dari gangguan siapapun. Agar beberapa kasus proyek strategis nasional yang telah merampas hak masyarakat adat tidak terulang kembali perlu digalakannya konsep FPIC sebagai sarana menjamin dan melindungi hak masyarakat adat.
Konsep Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) atau biasa disebut persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan merupakan prinsip hukum internasional yang menjamin hak masyarakat adat untuk menentukan partisipasi dalam proyek yang berdampak pada wilayah, sumber daya, atau budaya mereka. Konsep ini menjadi salah satu kunci penting dalam menentukan partisipasi masyarakat adat terhadap proyek pembangunan di wilayahnya, sekaligus mekanisme perlindungan dari eksploitasi sumber daya alam.
FPIC terdiri dari empat unsur yakni: kebebasan (tanpa paksaan atau manipulasi), waktu memadai (konsultasi sebelum proyek dimulai), informasi komprehensif (disampaikan dalam bahasa dan format yang dipahami komunitas atau masyarakat adat), dan persetujuan atau penolakan yang dihasilkan melalui mekanisme adat. Terlebih konsep FPIC membuat mereka mampu menegoisasikan kondisi tentang bagaimana proyek yang bersangkutan akan dirancang, diimplementasikan, diawasi, dan dievaluasi.
Prinsip ini tertanam dalam instrumen seperti Deklarasi PBB tentang Hak Masyarakat Adat (UNDRIP 2007) dan Konvensi ILO 169, yang mengakui FPIC sebagai turunan dari hak penentuan nasib sendiri (self-determination.) Namun dalam Implementasinya memerlukan pengakuan otoritas kelembagaan adat sebagai entitas pengambil keputusan kolektif, bukan sekadar konsultasi simbolis.
Pada hakikatnya masyarakat tidak anti terhadap pelaksanaan pembangunan, akan tetapi yang perlu dilakukan adalah penerapan konsep prior informed bagi masyarakat hukum adat yang tanah ulayatnya akan digunakan untuk kepentingan Pembangunan (Muh. Zulkifli Muhdar dan Jasmaniar, 2021).
Maka sebenarnya masyarakat adat tidak anti terhadap Pembangunan di wilayah mereka, mereka malah mendapatkan manfaat dari tanah mereka jika ada yang menyewa, bukan malah mengambil alih kepemilikan tanah mereka. Sebab mereka tidak mau kehilangan tanah mereka.
Ironisnya sekarang tiba-tiba HGU dan HGB telah muncul dan akhirnya masyarakat yang kena getahnya dengan harus meninggalkan wilayah mereka yang telah diduduki turun-temurun sejak dulu. Begitu mudahnya pemerintah mengambil alih atas hak tanah masyarakat adat karena kurang adanya legitimasi terhadap tanah yang ditempati oleh masyarakat adat.