Opini

Perjuangan Masyarakat Adat Papua Dalam Mempertahankan Tanah Hak Ulayat

Avatar
629
×

Perjuangan Masyarakat Adat Papua Dalam Mempertahankan Tanah Hak Ulayat

Sebarkan artikel ini
Perjuangan Masyarakat Adat Papua Dalam Mempertahankan Tanah Hak Ulayat
Gerakan “All Eyes on Papua” Mendukung Perjuangan Melawan Ekosida (Sumber: suarapapua.com)

Oleh: Kirana Salsabilla Citra Wijaya – (Mahasiswa S1 Hukum UINSA Surabaya)

Masyarakat adat Papua, seperti suku Awyu dan Moi, menghadapi tantangan terkait hak atas tanah ulayat. Ekspansi perkebunan kelapa sawit yang masif telah mengancam keberlangsungan hutan adat yang menjadi sumber kehidupan dan identitas budaya mereka. Konflik ini mencerminkan benturan antara kepentingan ekonomi nasional dan hak-hak masyarakat adat. Hak ulayat masyarakat hukum adat Papua adalah hak persekutuan atas tanah yang merupakan lingkungan hidup para warganya, diakui oleh pemerintah dan diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.

Tanah Ulayat diartikan sebagai tanah bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Hak penguasaan atas tanah masyarakat hukum adat dikenal dengan hak ulayat. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 atau UU Pokok Agraria (UUPA) mengakui adanya Hak Ulayat. Pengakuan itu disertai dengan dua syarat yaitu mengenai eksistensinya dan mengenai pelaksanaannya. Hak ulayat diakui sebagai suatu hak atas tanah apabila dalam kenyataannya memang masih ada dan pelaksanaan hak tersebut harus sesuai dengan kepentingan nasional serta tidak boleh bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan.

Dalam pandangan filosofi masyarakat adat Papua, tanah dan sumber daya alam di dalamnya memiliki makna yang sangat mendalam dan fundamental dalam kehidupan komunitas mereka. Tanah bukan sekadar aset fisik, melainkan bagian tak terpisahkan dari identitas, spiritualitas, dan keberlangsungan hidup mereka. Masyarakat adat Papua meyakini bahwa tanah adalah harapan bersama, simbol keberlanjutan, dan warisan yang harus dijaga untuk generasi mendatang.
Lebih dari itu, tanah juga memiliki dimensi spiritual yang erat kaitannya dengan keyakinan dan nilai-nilai transendental. Tanah dipandang sebagai sesuatu yang sakral, mengandung kemuliaan dan keagungan yang memberikan arti, manfaat, serta tujuan hidup yang selaras dengan kebaikan dan kebenaran bagi masyarakat adat Papua.

Salah satu kasus yang mencuat adalah perjuangan masyarakat adat Awyu di Kabupaten Boven Digoel, Papua Selatan, yang menolak kehadiran PT Indo Asiana Lestari (IAL). Perusahaan sawit ini memperoleh izin untuk mengelola 36.094 hektare hutan adat yang diklaim oleh suku Awyu sebagai tanah ulayat mereka. Untuk mempertahankan hak atas tanahnya, masyarakat adat Awyu mengajukan gugatan hukum guna membatalkan izin lingkungan yang diberikan oleh Pemerintah Provinsi Papua kepada PT IAL. Namun, perjuangan ini menemui jalan terjal.

Dalam Putusan Nomor 458 K/TUN/LH/2024, Mahkamah Agung (MA) resmi menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh Hendrikus Woro, pejuang lingkungan dari suku Awyu, bersama Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua. Putusan ini menambah daftar panjang ketidakberpihakan hukum terhadap masyarakat adat dan komunitas lokal yang berjuang melawan eksploitasi lingkungan. Hendrikus Woro mengajukan kasasi setelah sebelumnya Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Makassar menolak gugatan serta bandingnya terkait izin lingkungan yang diberikan kepada PT IAL.

Satu dari tiga hakim yang mengadili perkara ini, Yodi Martono Wahyunadi, mengeluarkan pendapat berbeda (dissenting opinion). Hakim Yodi Martono menyoroti tenggat waktu pengajuan gugatan yang dijadikan alasan oleh PTTUN Makassar untuk menolak permohonan banding Hendrikus Woro. Menurutnya, perhitungan tenggat waktu seharusnya mengikuti Pasal 5 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 2018, yang menghitung hari kerja termasuk memperhitungkan hari libur lokal di Papua.

Dengan mempertimbangkan keadilan substantif, hakim Yodi berpendapat bahwa pengadilan seharusnya mengesampingkan batas waktu tersebut demi keadilan bagi masyarakat adat. Hakim Yodi juga menilai bahwa izin lingkungan PT IAL bertentangan dengan asas dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Namun, pendapatnya kalah suara dalam putusan akhir MA.

Keberadaan hak ulayat diakui tidak hanya dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021, tetapi juga dalam peraturan daerah yang lebih spesifik. Pemerintah Provinsi Papua telah menerbitkan Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 23 Tahun 2008 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan Hak Perorangan Warga Masyarakat Hukum Adat atas tanah. Peraturan ini mempertegas hak masyarakat adat dalam menguasai, mengelola, dan memanfaatkan tanah beserta segala isinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Selain itu, perempuan adat menjadi kelompok yang paling terdampak jika hutan sebagai ruang hidup mereka hilang. Hubungan perempuan adat dengan hutan sangat erat, karena hutan berperan sebagai sumber utama kebutuhan hidup mereka, mulai dari penyedia pangan, air bersih, hingga obat-obatan tradisional yang diwariskan secara turun-temurun. Hutan tidak hanya berfungsi sebagai ekosistem alam, tetapi juga memiliki makna kultural yang mendalam bagi perempuan adat. Secara alami, perempuan memiliki kebutuhan spesifik terhadap akses air bersih, terutama dalam aspek kehidupan sehari-hari seperti keperluan rumah tangga, persalinan, dan menstruasi. Hilangnya hutan berarti hilangnya akses terhadap sumber daya yang menopang kehidupan mereka, yang pada akhirnya berdampak pada kesejahteraan dan keberlangsungan hidup komunitas adat secara keseluruhan.

Menanggapi situasi ini, muncul gerakan “All Eyes on Papua” yang bertujuan untuk mengajak dan mendukung masyarakat adat Suku Awyu di Boven Digoel dalam mempertahankan tanah adat mereka dari ekspansi perkebunan kelapa sawit. Gerakan ini menyoroti paradoks antara upaya pemerintah mempercepat pembangunan ekonomi dan kebutuhan melindungi hak-hak masyarakat adat serta kelestarian hutan. Masyarakat adat Awyu tetap berhak atas hutan adat mereka yang telah ada secara turun-temurun.
Kepemilikan izin oleh perusahaan tidak menghilangkan hak mereka, sebab jelas ada pemilik hak adat yang belum melepaskan haknya. Masyarakat adat Awyu berharap kepada masyarakat luas terus mendukung perjuangan ini, karena ini bukan sekadar isu lokal, melainkan bagian dari penegakan hukum dan perlindungan lingkungan hidup.

Berbagai organisasi lingkungan, seperti WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) dan Greenpeace Indonesia, aktif mendampingi masyarakat adat dalam memperjuangkan keadilan ekologis untuk menyelamatkan Hutan Adat Papua. Organisasi tersebut melakukan advokasi hukum, menggelar kampanye publik, serta menekan pemerintah agar lebih berpihak pada hak-hak masyarakat adat. Dukungan dari komunitas akademisi dan media juga berpengaruh dalam menyuarakan perlawanan masyarakat adat. Dengan semakin banyaknya dukungan dari berbagai pihak, diharapkan perjuangan masyarakat adat Papua dalam mempertahankan tanah ulayat mereka dapat memperoleh hasil yang lebih adil dan berkelanjutan.

Google News

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Hari Santri