Oleh: Dr. Husamah, M.Pd. (Pengajar Ilmu Lingkungan di Pendidikan Biologi FKIP Universitas Muhammadiyah Malang)
Tanggal 8 Juni adalah World Ocean Day, atau Hari Laut Sedunia. Laut adalah anugerah yang luar biasa. Hari Laut Sedunia dicetuskan oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Gagasan ini pertama kali diusulkan pada 1922 di KTT Bumi di Rio de Janeiro Brazil.
Laut memberikan makan miliyaran manusia. Laut mengcover 70% dunia dan 80% biodiversitas di dunia. Dengan demikian, konservasi dan memastikan laut yang berkelanjutan untuk generasi mendatang adalah sebuah keniscayaan.
Tahun 2024 ini, Hari Laut Sedunia dirayakan dengan tema “Awaken New Depths,” yang bertujuan untuk mengeksplorasi pemahaman, kasih sayang, kolaborasi, dan komitmen baru terhadap lautan. Bagaimana pun komitmen dan kolaborasi untuk menjamin sustainabilitas laut memiliki urgensi utama.
Peringatan internasional, yang diikuti puluhan juta manusia di seluruh dunia, mengingatkan kita semua akan peran besar laut dalam kehidupan sehari-hari. Laut adalah paru-paru bumi, sumber utama makanan, menyediakan obat-obatan dan kebutuhan farmasi, serta merupakan bagian penting dari biosfer. Dengan demikian, anugerah ini harus disyukuri dan dijaga sebaik-baiknya.
Tuhan menganugerahkan Indonesia sebagai negara maritim dengan dua pertiga atau 77% dari luas wilayahnya berupa perairan. Indonesia memiliki sekitar 17.500an pulau, bergaris pantai sepanjang 81.000 km.
Data BRIN menyebutkan, dari total 6,4 juta kilometer luas perairan Indonesia, sebesar 4,4 juta km di antaranya merupakan perairan dalam dan sisanya 2 juta km adalah perairan dangkal. Artinya, terdapat 68 persen dari perairan di Nusantara berupa laut dalam yakni minimal mencapai 2.000 meter di bawah permukaan. Indonesia memiliki potensi laut dalam yang masih jarang untuk dieksplorasi meski nilai ekonominya juga tak kalah menarik untuk dijelajahi (Indonesia.go.id, 2023).
Selain perikanan, laut Indonesia juga mempunyai berbagai potensi. Hutan bakau, terumbu karang, pariwisata, serta pertambangan adalah potensi lain laut Indonesia. Potensi lestari sumber daya ikan laut di Indonesia diperkirakan sebesar 12,54 juta ton per tahun.
Luas terumbu karang Indonesia terpetakan mencapai 25.000 kilometer persegi. Sayangnya, terumbu karang dalam kondisi sangat baik hanya 5,3 persen. Sisanya mengkhawatirkan dan bahkan rusak.
Laut Indonesia memiliki sekitar 8.500 spesies ikan, 555 spesies rumput laut dan 950 biota terumbu karang. Sumber daya ikan di laut Indonesia meliputi 37 persen dari spesies ikan di dunia. Banyak jenis ikan yang ada di lautan Indonesia mempunyai nilai ekonomis tinggi.
Di balik anugerah besar yang dimiliki Indonesia, terdapat ancaman yang mengintai. Salah satu bahaya itu berasal dari aktivitas domestik/keseharian penduduk. Hal yang jarang disadari adalah bahwa popok yang setiap hari digunakan oleh jutaan bayi menjadi ancaman yang besar bagi kehidupan laut. Popok sekali pakai ini memerlukan waktu 500 tahun agar dapat terurai.
Bagaimana pun, popok bayi adalah kebutuhan penting bagi keluarga yang memiliki anak balita. Jadi, bukan hal yang aneh apabila data MIX (2017), nilai bisnis produk popok sebesar Rp 9,8 triliun dengan pertumbuhan 26.2%/tahun. Berdasarkan data BKKBN (2024) sebanyak 44 juta anak bayi lahir di Indonesia setiap tahunnya. Sebagian besar bayi itu membutuhkan setidaknya 79,2 miliar popok dalam setahun. Jika dirinci lagi, dalam sebulan seorang bayi menggunakan 150 popok dan setahun bisa mencapai 1.800 lembar popok.
Faktanya, hasil survei yang dilakukan LSM ECOTON bahwa 98% dari 100 responden membuang limbah popok bayi di sungai. Common Seas (2022), sebagai contoh merilis bahwa terdapat 1,5 juta hingga 3 juta sampah popok sekali pakai yang masuk dan mengotori sungai Brantas. Sebagian besar limbah popok itu berakhir di lautan, sebagai pencemar berwujud plastik dan microplastic.
Popok yang terfraksi di lingkungan mengandung bahan berbahaya dan beracun yaitu polimer penyerap super (SAP) yang bentuknya serbuk, micro plastic dan microbeads. Jumlahnya sebesar 42%. Popok juga mengandung selulosa yang bentuknya TBT styrene dan xylene. Jumlahnya sebesar 27%. Apa dampaknya? Zat tersebut disinyalir menimbulkan sindrom syok keracunan pada pengguna, radang dan cedera paru serta iritasi kulit dan kesulitan bernafas.
Lalu harus bagaimana?
Sudah saatnya masyarakat sadar akan bahaya popok. Beberapa hal dapat dilakukan. Sudah saatnya mulai beralih ke pokok yang tidak hanya sekali pakai. Beberapa alternatif itu dapat ditemui di berbagai platform dan pegiat lingkungan.
Perilaku pembuangan popok harus mulai bijak. Jika selama ini sebagaian besar masih membuang popok dan feses bersama di tempat sampah. Sudah saatnya berperilaku pembuangan popok yang aman yaitu membuang kotoran ke jamban terlebih dahulu lalu mencuci popok dan dibuang ke tempat sampah.
Popok yang telah dipisahkan dengan tinja akan mudah didaur ulang. Data menunjukkan bahwa pengolahan popok bekas sekali pakai menghasilkan fiber/serat dengan kualitas tinggi yang dapat diolah menjadi kertas daur ulang. Selanjutnya, pengolahan popok bekas sekali pakai menghasilkan plastik yang akan diolah menjadi briket Refuse Plastic Fuel (RPF). RPF merupakan satu teknik penanganan sampah dengan mengubah sampah menjadi bahan bakar. Hal yang menarik adalah RPF ini sudah diuji dan mengandung 7000 kalori. Selain itu, kandungan SAP yang terdapat dalam popok bekas sekali pakai dapat digunakan untuk tanaman karena kandungannya bagus untuk membantu mempertahankan air di dalam tanah.
Beberapa website memuat artikel bahwa fiber yang telah dihasilkan melalui proses teknologi hidrotermal dapat diolah menjadi bahan pembangunan seperti batako dan pot tanaman yang dapat membantu penghijauan lingkungan. Selain itu, minyak yang dihasilkan dari pengolahan popok bekas ini akan digunakan kembali sebagai pengganti minyak tanah untuk bahan bakar pengoperasian mesin recycle popok bayi bekas pakai.