Oleh: Dr. Nurwidodo, M.Kes.
(Kepala LMT FKIP UMM, Pengurus Pusat ALSI, Ketua LSPTM)
Opini, mediapribumi.id — Semua siswa sukses (Every Student Success, ESS) dalam ulasan ini bukan dalam terminologi hukum yang berlaku di Amerika pada tahun 2015. Di dunia pendidikan kita, slogan ini sudah mulai didengungkan sejak tahun 2013, bersamaan dengan diberlakukannya Kurikulum 2013 saat itu. Derivasi slogan ini adalah tidak ada anak yang bodoh atau secara teknis dibijaki dengan tidak ada anak yang tinggal kelas (no children left behind).
Semua siswa sukses (ESS) mendasarkan pada potensi insaniah manusia yang dikaruniai dengan 160 karakter yang berbeda-beda yang kemudian diringkas dalam tiga ranah, yaitu ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik (Bloom, 2003). Thomas menyebut dengan istilah lain, yaitu head, hand, dan heart (Thomas, 1984).
Performansi karakter antar siswa juga berbeda, ada yang menonjol dalam aspek seni, ada yang menonjol dalam aspek olah raga, ada pula yang menonjol dalam aspek teknik, matematika, dan sebagainya. Suatu ilustrasi pernah muncul dalam diskusi publik, bahwa tidak mungkin mengajari ikan untuk memanjat pohon, mengajari burung untuk menyelam, atau kura-kura untuk berlari cepat. Akan tetapi dalam kodrat karakternya sendiri, mereka akan sukses tanpa dilatih untuk memiliki kemampuan tersebut.
Patut diapresiasi, dalam Kurikulum Merdeka (KURMER) tahun 2023 kebijakan yang dipilih pemerintah telah meniadakan evaluasi nasional yang hanya mendasarkan pada ujian untuk 5 mata pelajaran. Bersamaan dengan hal itu maka Kementerian Pendidikan, Kebudayaan , Riset, dan Teknologi kita juga menghembuskan angin segar, bahwasanya bukan hanya pembelajaran abad ke-21 yang menjadi acuan dunia pendidikan nasional maupun internasional (dikenal dengan 4C). Akan tetapi, pemerintah mencanangkan 6C, yaitu ditambah dengan Compasionate dan Computational Literate.
Sekolah perlu menjustifikasi bahwa tidak diperlukan perankingan lagi yang hanya mendassarkan pada perolehan nilai mata pelajaran tertentu. Perangkingan ini berakibat pada peniadaan apresiasi potensi atau aktualisasi kompetensi yang hakekatnya dimiliki dan akan berguna untuk masa depan siswa itu sendiri. Seleksi sekolah, misalnya-beberapa perguruan swasta cerdas menangkap peluang dengan memanfaatkan potensi siswa yang tidak dipertimbangkan untuk memasuki sekolah negeri. Mereka mengapresiasi kemampuan non akademik dan mengembangkannya sehingga menjadi unggul dan memenangkan berbagi kompetisi baik nasional maupun internasional. Ringkas cerita, sudah seharusnya semua siswa mendapatkan perhatian, bantuan, afeksi, untuk berkembang seesuai dengan potensinya dari pendidikan dan pembelajaran di sekolah kita. Sudah saatnya semua siswa sukses mengembangkan potensi dirinya. Apakah ini memungkinkan?
REQUIREMENT ESS
Prinsip bahwa setiap siswa sukses ini perlu diyakini dapat terwujud sekalipun ada persyaratan yang harus dipenuhinya. Pesyaratan pertama, untuk mewujudkannya adalah pemenuhan hak belajar siswa. Prinsip pemenuhan hak belajar siswa mengisyaratkan bahwa siswa memiliki hak untuk melaksanakan proses belajar secara berkualitas. Proses belajar berkualitas adalah proses belajar yang tidak hanya mengaktifkan salah satu indra atau jendela pengalamannya (misalnya mendengar saja) seperti guru mengajar hanya dengan metode ceramah.
Belajar adalah proses yang terjadi dalam pribadi siswa, dan oleh karena itu semua potensinya perlu dilibatkan. Pembelajaran siswa aktif dengan demikian adalah pilihan utama, dan ini sudah kita kenal sejak dahulu kala, hanya pelaksanaannya sering terabaikan. Cara Belajar Siswa Aktif yang berkualitas adalah cara belajar untuk memenuhi hak belajarnya. Prinsip pemenuhan hak belajar memberikan konsekuensi kepada guru dan sekolah bahwa tidak ada satupun siswa yang boleh diabaikan (Nurwidodo, 2019).
Persyaratan kedua adalah pembelajaran yang disertai dengan empati dan kasih sayang atau caring. Caring adalah suatu tindakan yang bertujuan memberikan asuhan fisik dan memperhatikan emosi sambil meningkatkan rasa aman dan keselamatan client atau siswa (Rubenfeld, 2011).
Hadir pula dalam asuhan ini rasa empati yang diberikan kepada siswa. Lesson study hadir untuk mewujudkan kebahgiaan siswa dalam belajar. Bukan menjadi tertekan karena belajar.
Persyaratan ketiga adalah pembelajaran yang menerapkan prinsip kolaboratif atau dialog. Dengan kolaborasi atau kerjasama maka akan diperoleh proses dan hasil belajar yang semakin produktif. Kolaborasi dapat berlangsung dalam tiga tingkatan, pertama kolaborasi antara siswa dengan materi pelajaran (dialog), kedua kolaborasi siswa dengan sesama siswa dalam kelompok belajar, dan ketiga kolaborasi siswa dengan kelompok yang lebih besar atau kelas dimana peran guru menjadi penting sebagai fasilitator dialog.
Teori belajar kolaboratif dari psikolog Rusia Vigotzky menyatakan bahwa dengan pembelajaran kolaboratif maka kemampuan siswa dapat meningkat mengikuti prinsip zone of proximal development (ZPG). Pembelajaran berlangsung tidak di dunia vakum, tetapi di dunia nyata yang membutuhkan kerjasama (Masaaki, 2015).
Persyaratan keempat adalah adalah pembelajaran itu harus berkualitas. Belajar adalah mengubah perilaku baik tampak (practice) maupun tak tampak (knowledge, attitude). Dalam pengubahan tersebut maka peran guru dalam pembelajaran adalah mengarahkan agar perubahan yang terjadi mengarah pada peningkatan kualitas, dari belum tahu menjadi tahu (being knowledge), dari belum terampil menjadi lebih trampil (being skilled) dan dari belum memiliki sikap menjadi bersikap positif (being value).
Kualitas pembelajaran ini dapat tercipta melalui implementasi pembelajaran kolaboratif sebagaimana psikolog Piaget dan Lev Vygotsky memberikan landasan teoritiknya. Pembelajaran berkualitas dapat kita petik dari berbagai Negara di dunia, terutama tipe Jepang.
Tipe jepang merupakan referensi pilihan karena disitulah rumah lesson study berada. Pada pembelajaran tipe Jepang ini langkah langkahnya secara ringkas meliputi apersepsi, pemaparan tugas kelompok, refleksi, pemaparan tugas kelas, refleksi dan pemaparan tugas individu untuk memberikan kesempatan terjadinya jumping (scaffolding) bagi siswa (Masaaki sato,2015).
KESIMPULAN
Semua siswa sukses (ESS) merupakan pola pikir yang menyertai diberlakukannya dua kurikulum terbaru di Indonesia, yaitu kurikulum 2013 dan kurikulum merdeka 2023. Dalam kapasitas penggerak baik guru, kepala maupun sekolah, tentu hal ini menjadi angin segar yang sangat menantang untuk diimplementasikan. Bersamaan dengan mengejar cita-cita mengimplementasikan 6C, maka mindset ESS perlu dikuatkan disekolah melalui guru penggerak.
Semua siswa sukses bukan mustahil diwujudkan, bilamana terdapat komitmen yang penuh dari semua stake holder yang terlibat dalam pendidikaan, bukan hanya dalam satuan pendidikan paling depan (sekolah) tetapi melibatkan ekosistem pendidikan secara keseluruhan.
Penentu kebijakan dari tingkat pusat hingga daerah, para pegiat pendidikan, masyarakat dan orang tua siswa perlu melibatkan diri secara intens. Perhatian dan campur tangan positif mereka akan menjadi pendukung untuk terwujudnya setiap siswa sukses dalam menempuh dan mencapai tujuan pendidikan yang ditargetkan.