Example floating
Example floating
Opini

Menunggu Runtuhnya Kualitas Lulusan Perguruan Tinggi

714
×

Menunggu Runtuhnya Kualitas Lulusan Perguruan Tinggi

Sebarkan artikel ini
Menunggu Runtuhnya Kualitas Lulusan Perguruan Tinggi
FOTO: Dr. Husamah, S.Pd., M.Pd. Dosen Pendidikan Biologi FKIP UMM, alumni S3 Pendidikan Biologi FMIPA UM
Example 468x60

Menunggu Runtuhnya Kualitas Lulusan Perguruan Tinggi

Oleh: Dr. Husamah, S.Pd., M.Pd.
(Dosen Pendidikan Biologi FKIP UMM, alumni S3 Pendidikan Biologi FMIPA UM)

OPINI, Mediapribumi.id – Dalam waktu 24 jam terakhir, grup-grup WhatsApp dosen, mahasiswa, dan mungkin juga pengamat pendidikan mendadak semakin ramai. Pemicunya adalah adanya kebijakan baru yang ditetapkan oleh pemerintah, melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Kebijakan tersebut adalah PERMEN Nomor 53 Tahun 2023 Tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.

Hal yang “membuat ramai” diskusi di grup-grup WA adalah tidak adanya kewajiban skripsi bagi mahasiswa S1, dan tidak adanya kewajiban publikasi di terbitan berkala ilmiah (jurnal) bagi mahasiswa master dan doktor. Sekilas memang kebijakan ini terlihat “lebih manusiawi”, tetapi jika kita berpikir jernih sesungguhnya kebijakan ini “memuat ranjau” bagi iklim ilmiah mahasiswa.

Bukankah pendidikan kita sejatinya “harus” membentuk manusia yang bisa berpikir ilimiah, bersifat ilmiah, berproses ilmiah, dan berkarya ilmiah? Sejak mereka S1, kita melatih mahasiswa untuk punya struktur berpikir yang benar. Bahkan, bagi mereka yang mampu, kita seharusnya melatih mereka untuk “menguji” kemampuan mereka itu dengan mempresentasikan karyanya di forum ilmiah dan bahkan publikasi di prosiding dan jurnal. Itu untuk mahasiswa S1.

Tentu levelnya harus semakin tinggi untuk mahasiswa S2, terlebih mahasiswa S3. Bukankah kita bersama-sama berharap generasi bangsa ini kuat dalam berpikir kritis, berpikir kreatif, bernalar, dan mampu mempertahankan gagasan mereka secara terbuka? Tentu kita tidak ingin mahasiswa lulus tanpa kemampuan memadai, lulus dengan cara “nglundhung” atau via jalan tol, mulus tanpa tantangan. Apa jadinya kualitas pendidikan tinggi kita?

Kita akan semakin tertinggal

Memang, rasanya bangsa ini sengaja akan dijatuhkan kualitasnya. Bukan sebagai bangsa penulis yang syarat dengan kemampuan berpikir mendalam tingkat tinggi. Bangsa ini sedang didesain sedimikian sehingga terjatuh menjadi bangsa pembual. Hanya pintar “ngomong” tidak jelas, dan tidak “bernilai”. “ngomong” atau berbual yang tidak teruji oleh Masyarakat akademik/masyarakat ilmiah dunia. Bisa jadi, dunia pendidikan kita sedang salah urus.

Sekian waktu ini, kita mulai merasa bangga. Jumlah publikasi Indonesia di Scopus, sebuah database jurnal terbesar di dunia, menempati peringkat yang lumayan tinggi. Di level dunia, menurut data Scimagojr, saat ini Indonesia menempati peringkat 39. Sementara itu, di level Asia, kita menempati peringkat Sembilan, dengan jumlah 311.467 dokumen. Kita masih tertinggal dari Singapura dan Malaysia, walau sudah di atas Thailand dan Vietnam. Dengan kebijakan baru, sepertinya peringkat kita akan merosot tajam.

Nah, jika kebijakan baru tersebut diterapkan, dan semua perguruan tinggi mengamini, maka akan dilahirkan banyak lulusan master dan doktor tanpa karya yang teruji internasional. Tanpa diuji masyarakat ilmiah. Hal ini tentu bukan isapan jempol, toh selama ini dengan kebijakan wajib publikasi internasional, banyak kampus yang terpaksa meluluskan mahasiswanya di detik-detik terakhir, daripada harus Drop Out (DO). Meskipun tentunya mereka hanya akan dapat memperoleh ijazah jika sudah menyerahkan artikel yang sudah terbit/terpublikasi. Bagaimana jika kebijakan baru ini sudah diterapkan perguruan tinggi? Lulus begitu saja, tanpa dibimbing serius, toh karya tersebut juga hanya akan mengisi folder dan rak perpustakaan, dan tidak direview oleh pakar.

Urgensi Menulis/Publikasi

Lembaga pendidikan, terlebih perguruan tinggi, seharusnya menjadi wadah bagaimana budaya menulis terus dibiasakan. Perguruan tinggi adalah wadahnya untuk menciptakan budaya menulis yang baru. Tugas akhir (skripsi, tesis, disertasi) yang dipublikasi di jurnal terakreditasi dan jurnal internasional bereputasi tentu melewati proses review dari pakar.

Sistem jurnal kita di Indonesia, yaitu ARJUNA sudah memiliki jaminan yang semakin baik tentang hal tersebut. Selain itu, Scopus dan juga Web of Science juga memiliki standar tinggi. Tentu dampaknya adalah semakin banyak karya berkualitas yang dihasilkan anak bangsa sehingga kita layak disandingkan dengan negara-negara yang maju. Sayangnya, ide bagus dan sudah berjalan sekian waktu itu yang dapat meningkatkan keterampilan penelitian dan menulis para lulusan perguruan tinggi, akan segera berakhir.

Ben Taylor (2023) dalam artikelnya di menegaskan bahwa publikasi selama kuliah (khususnya doktoral) akan menjadi pengalaman yang sangat berharga, memungkinkan seseorang mendapatkan audiens yang lebih luas untuk penelitiannya. Seseorang juga akan mendapatkan beberapa pengalaman berharga dari proses peer review. Ketika seseorang berhasil mempublikasi artikelnya di ke jurnal bereputasi, maka dapat membantu menguatkan dan mempersiapkan diri untuk peluang pascadoktoral atau peran karir awal lainnya. Ini juga bisa menjadi pengalaman yang sangat berharga, mengetahui bahwa komunitas akademis menganggap penelitian kita layak untuk dipublikasikan dan dipertimbangkan oleh peneliti lain. Terakhir, publikasi adalah peluang besar untuk terlibat dengan komunitas akademis dalam disiplin ilmu tertentu dan menghubungkan pekerjaan penelitian yang dilakukan dengan penelitian lain dalam skala luas di bidangnya. Tentu saja, ini akan memberikan penguatan kompetensi dan kualitas seseorang.

Sementara itu, Dr. Md Asadul Islam, seorang Assistant Professor BRAC Business School dj BRAC University, menegaskan bahwa mengapa mahasiswa harus publikasi. Pertama, mendorong mereka untuk Menjadi Pemikir Independen dan Kritis. Artikel yang diterbitkan di jurnal menunjukkan kepada calon pemberi kerja bahwa seseorang memiliki daya tahan yang sangat baik. Mengembangkan makalah penelitian memerlukan investasi jangka panjang untuk bersikap independen dan kritis terhadap isu tersebut. Dengan demikian, artikel tersebut menunjukkan bahwa seseorang dapat berpikir mandiri dan kritis serta dapat menyelesaikan proyek yang panjang, yaitu makalah penelitian yang terdiri dari banyak halaman.

Kedua, untuk Mengembangkan Keterampilan Komunikasi dan Jaringan. Ketika mahasiswa menulis artikel, dia membaca banyak artikel dari banyak penulis, dan terkadang dia harus mengirim email atau mengontak mereka. Hasilnya, mereka menjadi lebih mudah mengembangkan keterampilan komunikasi akademis dan penelitian. Hal ini pada akhirnya memberikan peluang yang sangat baik untuk menciptakan dan membangun jaringan dengan orang-orang intelektual dan ahli di bidangnya (pakar) di seluruh dunia. Selanjutnya, dalam menulis dan mengembangkan artikel dari penelitian mereka, mahasiswa master dan doktoral secara praktis dapat mengembangkan sendiri keterampilan analitis dan jaringan secara global dan itu sangat bermanfaat dalam karir mereka.

Ketiga, untuk mengembangkan tekad, pejuang, dan kesabaran. Orang sering mengatakan bahwa mereka memiliki tekad yang kuat, namun sebenarnya tidak. Namun, jika seseorang menulis artikel penelitian dan akhirnya menerbitkannya, itu menunjukkan tekadnya untuk mencapai sesuatu dengan menjelajahi lebih dari ratusan makalah penelitian. Dalam proses publikasi, seorang mahasiswa harus merevisi dan mengirimkan kembali artikel untuk kemudian akhirnya diterima. Banyak pula yang harus melewati fase beberapa kali ditolak (decline/rejected). Keseluruhan proses tersebut membutuhkan waktu yang lama dan tekad yang positif (kesabaran). Terkadang mereka merasa patah hati dan frustasi, namun mereka merasa berhasil jika akhirnya artikelnya diterbitkan. Oleh karena itu, melakukan penelitian dan menerbitkan artikel penelitian akan menjadikan gelar master dan doktor menjadi penuh makna. Proses itu mencetak orang-orang yang Tangguh, penuh tekad, pejuang, pantang menyerah dan sabar.

Sayangnya, melihat kebijakan baru ini, sepertinya kita akan menemukan hal yang berkebalikan. Apa mau dikata? Sepertinya kita sedang menunggu runtuhnya kualitas lulusan perguruan tinggi. Semoga saya salah. Wallaahu a’lam bisshowab.

Example 300250 Google News
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *