Mediapribumi.id, Sumenep — Data Pengadilan Agama (PA) Sumenep, angka perceraian di Bumi Sumekar pada tahun 2022 mencapai 1.729 kasus, dan pada tahun 2023 menurun menjadi 1.621 kasus.
Meski jumlah menurun pada 2023, dalam dua tahun terakhir, total angka perceraian terbilang tinggi karena mencapai 3.350 kasus.
Menanggapi hal tersebut, Ketua GWC Sumenep Megawati menyampaikan beberapa faktor yang menjadi penyebab tingginya angka perceraian, sehingga berimbas pada jumlah janda di Sumenep.
Adapun faktor pertama, kata Megawati, adanya pihak yang ditinggalkan, dengan alasan karena orang ketiga maupun beberapa alasan lain.
“Dari polling yang terbanyak itu, di atas adalah meninggalkan meninggalkan salah satu pihak. Kalau ndak istrinya yang meninggalkan suaminya, ya suaminya yang meninggalkan istrinya,” kata megawati, Rabu (17/01/2024).
Faktor orang ketiga memang menjadi salah satu alasan perceraian, sebab yang namanya perasaan, tidak bisa ditampik kedatangannya yang bisa datang kapan dan di mana saja.
“Tapi, kembali lagi kita harus ingat ketika berkeluarga harus pegang komitmennya dulu saat akad nikah, untuk tetap setia selamanya sampai akhir memisahkan,” tuturnya.
Selanjutnya, faktor yang kedua adalah terjadi perselisihan maupun pertengkaran dalam rumah tangga.
Ia memaparkan, sejatinya perselisihan dalam rumah tangga bukanlah sesuatu yang baru, sebab hal itu pasti ada, bahkan bisa dianggap sebagai bumbunya.
“Jadi kalau ada yang marah harus ada yang menahan, meredam biar tidak selalu berujung pada pertengkaran. Harus dirembuk berdua agar dapat solusi yang enak,” terangnya.
Faktor ketiga adalah ekonomi. Dirinya berpendapat faktor ekonomi bisa menjadi salah satu pemicu perceraian.
Meski begitu, dirinya menggaris bawahi terkait kewajiban seorang suami yang harus memenuhi nafkah keluarganya, baik batin maupun kebutuhan sehari-hari memang sepenuhnya tanggung jawab kepala keluarga.
Disamping itu, tidak menutup kemungkinan bagi seorang istri menbantu suaminya untuk memenuhi kewajiban tersebut dengan bekerja atas izin pasangannya.
“Seorang istri juga harus menerima berapapun pendapatan suaminya, harus bisa memanage, bisa mengelola dengan baik tidak boros, jadi lebih memprioritaskan mana yang harus dibeli dulu seandainya keuangannya masih belum stabil,” ungkapnya.
Ada juga faktor keempat, adanya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Megawati menyebut KDRT kerap kali muncul dalam rumah tangga. Bisa dipengaruhi oleh sifat bawaan, maupun situasi dan kondisi pelik yang sedang dihadapi.
“Apapun itu, KDRT merupakan tindakan yang salah. Jadi tidak boleh apalagi seorang istri kan harusnya disayangi dan diayomi bukan malah dianiaya dengan tindakan yang keras seperti itu,” kata megawati menambahkan.
Dan yang terakhir, faktor kelima yang mengakibatkan perceraian adalah umur atau pernikahan usia anak.
Untuk itu, tim PKK Sumenep lanjut Mega telah menggerakan program pencegahan pernikahan usia anak di setiap daerah, mulai dari kecamatan, desa hingga dusun.
“Jadi tidak boleh ada lagi pernikahan di bawah tangan karena tidak cukup umur,” imbuhnya.
Dirinya menegaskan faktor psikologis juga mempengaruhi seseorang dalam bertindak, dan ketika pernikahan usia anak terjadi, bukan tidak mungkin terjadi pertengkaran karena pola pikir yang masih kekanakan dan belum bijak dalam pengambilan keputusan.
“Namanya anak-anak kalau sudah dewasa kan akan saling mikir akan saling intropeksi diri,” tukasnya.