Hari ini saya kembali mengantar emak ke pasar. Sekitar dua pekan terakhir, saya cukup sering melakukan itu. Kami sedang merampungkan pembangunan pagar rumah, jadi emak perlu belanja.
Di jalan raya menuju pasar, ada sekelompok warga yang meminta amal untuk pembangunan masjid. Setiap kali menuju ke pasar, atau berencana pergi ke kota, kami pasti melewati mereka.
Setiap kali melewati mereka, yang meminta amal, saya merasa harus menyiapkan tenaga ekstra. Pertama harus tetap fokus menyetir motor. Kedua harus menyapa mereka, minimal dengan senyum dan anggukan kepala.
Mulanya terasa sebagai beban. Namun seiring berjalannya waktu, semuanya menjadi kebiasaan. Setiap kali tiba di akses jalan tempat mereka meminta amal, pikiran secara otomatis sudah menyuruh badan untuk menyiapkan gestur sapaan.
Hanya saja bukan itu yang hendak saya ceritakan. Bukan tentang saya yang mulai terbiasa menyapa orang lain hanya mengandalkan gestur tubuh semata. Bukan.
Ini cerita tentang emak. Dan untuk kesekian kalinya, emak kembali memberikan saya pelajaran sederhana namun berharga. Bagi saya emak sering menginspirasi. Kadang sebagian saya catat, kadang saya biarkan jadi laku keseharian.
Pukul 07.39 WIB, emak sudah selesai berbelanja di pasar. Dia menghampiri saya yang menunggu di depan toko fotocopy, yang kadang terasnya ditempati pedagang emas.
Melihat emak tiba, saya segera menutup gawai. Sebelum naik ke atas motor, emak sempat mengomentari motor istri yang dianggapnya tertalu tinggi. Tapi tidak lama kemudian dia memakluminya, “kalau tempat naiknya tinggi, enak juga sebenarnya,” ucapnya.
Setelah menunggu beberapa kendaran roda dua dan roda empat melintas, motor pun saya pacu menyeberang jalan. Kami berdua mulai menjauh dari pasar.
Setelah tiba di tempat amal, emak meminta agar laju motor dibuat lebih pelan. Emak berencana menyerahkan, lebih tepatnya melemparkan uang 2.000 rupiah pada warga yang bertugas mengumpulkan amal.
Saya menuruti kehendak emak. Laju motor saya pelankan. Setelah uang 2000-an dilempar, motor kembali saya pacu, menjauh dari tempat amal. Sembari kami menjauh, doa dan puja puji melalui speaker emak dengarkan.
“Semoga mendapat pahala, dilancarkan rejekinya, dijauhkan dari bahaya, semoga selamat dunia akhirat dan terima kasih banyak,” sebuah rangkaian doa yang terdengar nyaring melalui pengeras suara.
Apa yang emak dengar, juga saya dengar. Bagi saya, doa dan puja puji seperti itu sudah biasa. Dan dan puja puji yang sama sering saya dengan di tempat amal yang berbeda. Akan tapi emak meresponnya dengan cara yang berbeda.
“Sungkan sebenarnya hanya memberi 2.000 rupiah. Doanya banyak dan baik semua,” kata emak di atas motor.
Mendengar ucapan emak, saya hanya mengernyitkan alis. Apa maksudnya? Sejurus kemudian, yang emak ucapkan seperti menganggu perasaan saya yang awalnya biasa-biasa saja.
Sepanjang perjalanan, saya dan emak menjadi jarang sekali berbincang. Saya hanya diam, tetap menyetir motor, sembari menduga-duga apa maksud dari yang emak utarakan.
Pertama, ternyata emak mengajari saya untuk realistis. Jika diumpamakan jadi kuli, jangan berharap upah 500 ribu rupiah untuk jenis pekerjaan yang hanya cocok diupah 50 ribu rupiah. Malu. Sungkan.
Jangan berharap punya sikap yang lebih baik jika setiap hari masih bernafsu untuk melakukan hal-hal buruk. Itu juga tidak realistis. Kecuali berpura-pura.
Kedua, sense of crisis harus diasah dari hal-hal terkecil sekalipun. Emak mengajari saya dengan memberi respon berbeda saat doa seharga 2 ribu rupiah terdengar dari pengeras suara amal masjid.
Contoh lain adalah, tidak harus membentur pohon asam untuk mengerti bahwa tabrakan itu berbahaya. Tabrakan itu taruhannya nyawa.
Selain itu, tidak harus selalu merasa benar untuk mengerti bahwa setiap orang punya rasa hormat yang berbeda. Tidak perlu. Bersikaplah biasa-biasa saja.
Akhirnya, saya dan emak tiba di rumah. Sebelum melewati pintu dapur, emak menyarankan agar saya berusaha memberi, semampunya, kepada siapapun yang membutuhkan.
Kata emak, kita tidak akan pernah tahu, perbuatan baik mana yang akan menyelamatkan di mahsyar sana. Mendengar itu, saya diam seawam-awamnya.
Catatan NK Gapura
Gapura, 13 Januari 2025