Saatnya membudayakan “Jangan Takut Meskipun Salah”
Dr. Nurwidodo, M.Kes.
Kepala LMT FKIP UMM, Pengurus Pusat ALSI, Ketua LSPTM Se-Indonesia
Opini, mediapribumi.id — Salah satu jargon yang popular dan selama ini kita kenal dalam dunia kehidupan adalah berani karena benar. Jargon ini tentu mendidik dan sangat baik bagi pembentukan karakter siswa. Karakter yang ingin dibangun melalui jargon ini adalah berani bertindak karena berada di pihak yang benar.
Secara efektif jargon ini telah membentuk pola pikir positif bahwa keberanian dan kebenaran itu berhimpit dalam garis yang sejajar dan tidak pernah bertentangan. Kemunculan dan penyebarannya sudah berlangsung cukup lama. Nenek moyang kita telah mengajarkan jargon ini mungkin sudah ribuan tahun silam.
Dalam catatan sejarah selama lebih dari satu abad jargon ini menyelimuti anak anak kita, pelajar kita. Apakah buktinya? Jargon ini sudah populer sejak tahun 1970, ketika itu saya menjadi siswa di suatu SD. Di setiap dinding kelas, dipasanglah tulisan “Berani Karena Benar” ini berhiaskan animasi (graffiti) sehigga indah dipandang.
Ada positifnya, mungkin malah banyak positifnya karena membentuk perilaku benar menurut harapan sosial. Akan tetapi perlu diwaspadai, secara tidak langsung jargon ini juga membenarkan pilihan untuk takut karena salah. Oleh karena itu, sangat sering terjadi, ketika guru menanyakan sesuatu untuk dijawab siswa, maka tidak ada satupun siswa yang berani menjawabnya. Anak-anak diam seribu bahasa karena takut salah. Kelas hening sepi tanpa suara, atau suara yang muncul bukan jawaban yang diminta oleh gurunya.
Mengapa siswa menjadi diam semua? Ternyata mereka dihinggapi rasa takut jikalau jawabannya salah. Kemana mestinya arah jargon yang perlu ditegakkan di ruang kelas kita? “Berani karena benar” versus “Tidak takut meskipun salah”. Dilematis sepertinya.
Adalah penerapan jargon berani sekalipun salah atau tidak takut walaupun salah pada suatu kelas menghasilkan lesson learn yang menarik. Penerapan jargon yang tidak biasa ini menghasilkan pola pikir (mindset) yang baik untuk membangkitkan suasana senang, terbuka, suka merespon dengan cepat, dan lain lainnya kepada siswa kita. Bagi seorang guru, mendapati siswanya berkarakter asertif seperti itu, tentu lebih menyenangkan dalam pembelajarannya. Mengapa? Bila didapati siswanya memberikan respon yang salah, hal ini akan lebih mudah dilakukan umpan balik untuk mengarahkan pada hal yang benar, ketimbang siswa diam saja. Bisa jadi diamnya itu karena takut salah.
Terbukanya pikiran dan perasaan siswa untuk berani merespon pertanyaan guru adalah hal yang utama, urusan benar ataukah salah jawaban siswa itu menempati urutan berikutnya. Berani karena benar atau takut karena salah versus berani walaupun salah atau tidak takut walaupun salah adalah bagian dari pengkajian pembelajaran (lesson study).
Jargon berani sekalipun salah belum lama dikenalkan dalam dunia pendidikan kita. Jargon ini baik maksudnya karena ingin membangkitkan keberanian siswa tanpa terhalang oleh perasaan takut salah.
Dimunculkannya jargon ini dilatarbelakangi oleh keinginan agar siswa secara massif memiliki perasaan bebas dari rasa takut (freedom from fear) untuk berpendapat atas pertanyaan guru di dalam kelas. Bisa dibayangkan, suasana kelas akan menjadi demikian hidup dan bergairah ketika perasaan berani ini hadir dan lebih dominan keadaannya di dalam kelas. Nilai benarnya bukan pada kebenaran jawaban siswa, tetapi terdapat pada realisasi hak berpendapat yang dimiliki siswa yang harus difasilitasi oleh guru.
Berani sekalipun salah bila sudah terbiasa berlaku di dalam kelas, maka hal ini akan menghadirkan pemikiran yang bebas dari rasa takut di luar wilayah kelas. Demikian itulah demokrasi, sebagai salah satu prinsip dalam ber lesson study.
Mengapa perlu berani walaupun salah? Terdapat alasan yang dapat diterima secara logis perlunya berani walaupun salah. Benar dan salah adalah suatu penilaian berdasarkan pandangan hasil atau produk. Terkadang orang bersedia melakukan apapun untuk memperoleh kebenaran sebagai produk, sekalipun prosesnya tidak benar. Akan lebih parah lagi bilamana kebenaran dapat diperjual belikan karena menjadikan kebenaran itu tiada berharga.
Pada suatu ujian, kasus ini sering terjadi sehingga muncul terminologi kebenaran dapat di beli. Berani walaupun salah, akan lebih baik daripada mendapatkan kebenaran dari hasil negosiasi. Salah atau kesalahan memang mengakibatkan konsekuensi. Namun konsekuensi dari kesalahan dapat dipelajari kembali sehingga dapat menghindarkan diri dari kesalahan yang sama di kemudian hari.
Benar atau salah seringkali akibat dari perbedaan sudut pandang. Bilamana sudut pandang sudah berseberangan, maka apapun jawaban lawan bicara akan ditempakkan pada posisi yang salah. Sebaliknya, bilamana sudut pandang bersekubu, maka apapun jwabannya akan ditempatkkan berada pada posisi yang benar. Benar dan salah dalam hal ini sebaiknya dipandang sebagai variasi atau perbedaan. Dalam pandangan yang demikian itu, maka benar dan salah tidak berposisi konfrontatif, melainkan variatif sehingga lebih memperkaya wawasan.
Guru sebaiknya menempatkan diri pada posisi median yang dapat menghargai setip pendapat siswanya, apakah benar ataupun salah. Yang lebih penting dari justifikasi benar atau salah adalah keberanian untuk berpendapat dan terbebas dari rasa takut (freedom from fear).
Sekali lagi, bahwa salah satu prinsip dari lesson study adalah demokrasi. Demokasi memberikan kebebasan kepada siswa untuk berpendapat.
Kebebasan berpendapatt yang dibangun di kelas pembelajaran akan menjadi bibit yang baik untuk tumbuh dan berkembang menjadi kebebasan berpendapat di luar kelas pembelajaran. Tugas guru adalah memberikan fasilitasi sehingga terbentuk suasana atau iklim kebebasan untuk berpendapat, bila perlu sampai terbangun karakter asertif sebagai wujud pembelajaran yang demokratis.