Mediapribumi.id, Sumenep — Sebuah kabupaten di ujung timur Pulau Madura yang kaya akan potensi alam, kini menyimpan cerita pilu tentang matinya salah satu organisasi Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) yang selama ini menjadi kebanggaan mahasiswa dan masyarakat setempat.
Kabar ini tidak hanya mengejutkan, tetapi juga memunculkan pertanyaan besar tentang masa depan pelestarian alam di wilayah tersebut.
Mapala di Sumenep pernah menjadi organisasi yang aktif menggelar berbagai kegiatan eksplorasi dan konservasi lingkungan.
Dari pendakian gunung hingga penyuluhan masyarakat tentang pentingnya menjaga ekosistem, organisasi ini telah memberi dampak nyata.
Namun, perlahan tapi pasti, kejayaan itu memudar. Kini, Mapala dinyatakan mati suri, tak lagi beroperasi, dan kehilangan daya tariknya bagi generasi muda.
Menurut Miftahol Hendra Efendi, seorang jurnalis sekaligus pemerhati isu lingkungan, kematian Mapala ini adalah sebuah ironi besar.
“Sumenep memiliki potensi alam yang luar biasa, dari pegunungan hingga kawasan pesisir. Mapala seharusnya menjadi ujung tombak dalam menjaga kekayaan itu. Tapi kenyataannya, organisasi ini justru terpuruk karena berbagai alasan, seperti kurangnya regenerasi anggota dan minimnya dukungan dari kampus,” ujar Miftahol, Sabtu (4/1).
Masalah regenerasi menjadi sorotan utama. Banyak mahasiswa baru yang kini lebih tertarik pada kegiatan lain yang dianggap lebih relevan dengan kebutuhan zaman.
Padahal, menjadi bagian dari Mapala bukan hanya tentang petualangan, tetapi juga tentang tanggung jawab menjaga lingkungan. Sayangnya, narasi itu kian pudar di tengah generasi muda yang semakin pragmatis.
Tidak hanya itu, kurangnya dukungan dari pihak kampus dan masyarakat turut memperburuk keadaan. Tanpa sokongan moral maupun material, Mapala perlahan kehilangan pijakannya.
“Organisasi mahasiswa seperti Mapala butuh dukungan untuk tetap hidup, baik dalam bentuk dana, fasilitas, maupun perhatian serius dari pihak kampus,” tambah Miftahol.
Kematian Mapala di Sumenep bukan sekadar kisah sedih sebuah organisasi. Ini adalah simbol dari kurangnya kesadaran kolektif akan pentingnya pelestarian alam.
Dalam konteks yang lebih luas, hal ini mencerminkan betapa isu lingkungan sering kali dianggap tidak mendesak, padahal ancaman kerusakan ekosistem terus meningkat.
“Matinya Mapala seharusnya menjadi refleksi bagi kita semua. Jangan sampai hal ini menjadi titik awal kehancuran potensi alam Sumenep yang begitu kaya,” tegas Miftahol.
Kini, harapan untuk menghidupkan kembali semangat Mapala ada di tangan semua pihak. Miftahol menilai, dibutuhkan kolaborasi antara mahasiswa, kampus, dan masyarakat agar organisasi ini dapat bangkit dan kembali menjadi motor penggerak pelestarian lingkungan.
“Karena tanpa itu, keindahan alam Sumenep mungkin hanya akan tinggal cerita,” pungkasnya.