Example floating
Example floating
Opini

PENANGANAN KASUS PERUNDUNGAN DI SEKOLAH

200
×

PENANGANAN KASUS PERUNDUNGAN DI SEKOLAH

Sebarkan artikel ini
PENANGANAN KASUS PERUNDUNGAN DI SEKOLAH
Dr. Nurwidodo, Kepala LMT FKIP UMM, Pengurus Pusat ALSI dan Ketua LSPTM

PENANGANAN KASUS PERUNDUNGAN DI SEKOLAH

Dr. Nurwidodo, M.Kes.
Kepala LMT FKIP UMM, Pengurus Pusat ALSI dan Ketua LSPTM

Opini, mediapribumi.id — Perundungan merupakan perilaku negatif yang bisa menyasar anak maupun orang dewasa. Pelaku yaitu seseorang yang suka mengganggu yang lemah.

Perundungan adalah bagian dari dosa besar dunia pendidikan terhadap peserta didik. Sesungguhnya pendidikan bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik supaya menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Upaya mencapai tujuan tersebut di tingkat sekolah atau pribadi siswa terganggu oleh kejadian menyedihkan yang disebut dengan perundungan atau bulliying. Pelaku perundungan ini dilakukan oleh peserta pendidikan itu sendiri yaitu senior (kakak kelas), teman sebaya atau bahkan oleh gurunya.

Peristiwa perundungan yang melibatkan guru akan dan telah mencoreng nama baik dunia persekolahan kita. Mengapa? Karena hal ini merupakan pamali, semestinya guru terlarang melakukan hal ini dan perundungan oleh guru tidak boleh terjadi. Bila sampai terjadi maka guru tersebut telah melakukan pelanggaran dan pencemaran sehingga menjatuhkan nama baik personal maupun institusi sekolah.

Bisa dipahami bilamana salah seorang pengamat pendidikan mengekspose kekhawatirannya terhadap keamanan siswa di sekolah melalui tulisannya di media massa (Jawa Post, 29 September 2023). Penulis tersebut sampai mempertanyakan apakah sekolah masih cukup aman bagi siswa siswinya. Pertanyaan ini didasarkkan atas banyaknya kasus perundungan yang ditemukan di sekolah baik SD, SMP maupun SMA. Tingkat keparahan atas dampak yang ditimbulkan cukup beragam, ada yang ringan, sedang dan beberapa ada yang parah. Beberapa di antaranya adalah korban menjadi cacat fisik seumur hidup, anak ternoda kesuciannya dan akibat lain yang menyakitkan sehingga anak tidak mau lagi belajar di sekolah. Beberapa diantaranya menimbulkan amarah dari orang tua siswa kepada sekolah.

Kasus perundungan bisa dijumpai di sekolah manapun, termasuk di sekolah berlatarbelakang Sekolah Ramah Anak (SRA) maupun sekolah berlatar belakang agama (pesantren, paroki). Kasus perundungan juga bisa terjadi pada siapapun, termasuk pelakunya. Penulis menemukan pada dua kasus yang pernah terjadi pelakunya adalah guru di sekolah tersebut.

Kasus pertama bersifat kronis, berlangsung sudah sejak lama. Kasus kedua berkategori perundungan verbal, berintensitas tinggi sehingga sangat mengganggu kenyamanan belajar siswa terdampak. Ironis, karena kejadian ini berlangsung di sekolah berpredikat sekolah ramah anak (STA). Untungnya sekolah sangat tanggap dan bereaksi cepat dalam merespon dan telah melakukan penanganan dengah tepat sehingga kasus dinyatakan selesai dan semoga tidak terulang.

Upaya penanganan perundungan sebaiknya meliputi pencegahan, penyembuhan dan tindak lanjut. Identifikasi terhadap penyebab merupakan langkah awal penanganan perundungan. Dua kasus perundungan yang penulis jumpai sekalipun keduanya bertipe sama tetapi memiliki latar belakang penyebab yang berbeda. Hasil analisis atas penyebab, superioritas pelaku terhadap korban merupakan precursor awal. Syndrome superioritas menganggap dirinya berhak untuk membuly korban, dan ini bisa terjadi dalam lingkungan teman (peer) siswa, kakak kelas atau bahkan guru. Sebab perundungan lainnya adalah latar belakang keluarga yang tidak beruntung. Contoh kasus persona yang berlatar belakang sebagai anak yatim piatu sewaktu masa kecilnya dapat manifest menjadi pelaku perundungan. Pengalaman hidupnya yang miskin kasih sayang dari keluarga, menjadikan persona ini mengalami kesepian. Alam bawah sadarnya ingin melampiaskan rasa cinta dengan memanfaatkan relasi spesifik terhadap korban yang notabene adalah siswanya.

Kedua kasus di atas telah mendapatkan penanganan tindakan disiplin berupa skorsing sampai dengan pemecatan. Penanganan seperti ini sesuai dengan aspirasi persatuan orang tua siswa yang merasa prihatin atas kasus ini dan khawatir akan merajalela bila tidak ditindak tegas. Oleh karena itu, penegakan disiplin dan kode etik guru oleh manajemen sekolah merupakan solusi. Sementara itu peran kooperatif orang tua wali siswa dengan menempatkan diri sebagai kolaborator pengawas sangat memberikan kontribusi positif untuk penegakkan sekolah bebas perundungan dan sekolah ramah anak (SRA).

Dalam kerangka pencegahan yang lebih progresif, maka diperlukan kepedulian orang tua untuk membantu mencegah tejadinya perundungan di sekolah. Kepedulian orang tua ini dapat dilakukan dalam beberapa langkah sebagai berikut.

Langkah pertama adalah memastikan anak anak mengetahui apa itu perundungan dan dapat mengidentifikasinya, apakah itu terjadi pada mereka atau orang lain.

Langkah kedua adalah bicaralah secara terbuka dan sering kepada anak-anak tentang perundungan, agar anak semakin nyaman memberi tahu jika mereka melihat atau mengalaminya.

Langkah ketiga adalah membantu anak agar menjadi panutan yang positif. Ada tiga pihak yang terlibat dalam perundungan: korban, pelaku, dan saksi. Jika mereka menyaksikan perundungan, mereka dapat membela korban, menawarkan dukungan, dan atau mempertanyakan perilaku perundungan yang terjadi termasuk membela ketika orang lain diperlakukan dengan tidak baik.

Langkah keempat bicaralah dengan guru atau pihak sekolah. Tanyakan apakah sekolah memiliki kebijakan atau panduan mengenai perilaku perundungan. Ini mungkin berlaku untuk perundungan secara langsung dan online.

Langkah kelima adalah menyelesaikan masalah dengan cara-cara yang sehat dan baik termsuk konsekuensi dan peluang untuk menebus kesalahan. Misalnya bisa dengan membatasi aktivitas mereka, terutama kegiatan yang mendorong perundungan (berkumpul bersama teman ‘geng’nya, waktu bermain media sosial atau online).

Sebagai simpulan dapat dinotifikasikan bahwa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyadari akan terjadinya kasus perundungan di dunia pendidikan atau sekolah. Oleh karena itu, maka dicanangkan 6C sebagai slogan peendidikan abad ke-21 untuk Indonesia. Ke-6 C tersebut adalah Critical thinking, Creative thinking, Comunicative skill, Collaborative skill, Computational literate dan Compassionate. Munculnya compassionate ini dalam kerangka menyadari telah terjadi kesalahan di dunia pendidikan kita dan kemudian menyatakannya sebagai DOSA BESAR dunia pendidikan yang harus ditangani. Selanjutnya berupaya meniadakan, mencegah dan menanggulangi dosa tersebut agar tidak terjadi lagi.

Peran orang tua siswa sangat penting untuk mencegah terjadinya perundungan. Peran tersebut dapat dilakukan melalui pencerahan kepada anaknya, menunjukkan sikap dan perilaku yang adil dan berketeladanan terhadap perundungan dan menjadi kolaborator sekolah dalam menangani perundungan. Sekolah sendiri perlu memiliki regulasi yang terkait dengan perundungan. Regulasi ini perlu dikawal oleh PiC yang diamanati. Regulasi ini juga perlu disosialisasikan dengan baik kepada seluruh stakeholder sekolah, termasuk siswa dan orang tuanya.

Hari Santri Google News
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *