Mediapribumi.id, — Orang jahat pasti mati. Tapi kejahatan bisa datang dengan cara yang lebih keji. Kisah Qabil, Richard Ramirez yang dijuluki The Night Stalker’, hingga Ahmad Suradji, adalah bukti bahwa orang jahat pasti mati. Namun kejahatan tidak akan pernah berhenti.
Kejahatan layaknya air yang mengalir. Ia harus menyelesaikan takdirnya hingga ke ujung hilir. Dan di Pilkada, kejahatan berpotensi datang tepat di depan mata. Tandanya sudah mulai terasa; operasi framming kebaikan mulai mengemuka. Kedua kontestan saling berlomba. Menemui kyai dan sholawatan bersama.
Di tengah dinamika pilkada, semua framming sengaja diciptakan demi meraih kekuasaan. Dan tentu saja, setelah kekuasaan dalam genggaman, wajah kejahatan bisa lebih mengerikan.
Jakob Sumardjo, di harian Kompas, tanggal 3 Mei 2017 menulis; celakalah mereka yang tahu banyak tentang kebaikan, tetapi semua perbuatannya berbalikan dengan apa yang diketahuinya.
Tokoh filsafat itu mencontohkan, orang boleh tahu banyak tentang perbuatan baik, tetapi kalau dia menggusur pagar tetangga, menggoblok-goblokkan pembantunya setiap pagi, memotong uang proyek kantor, dia orang jahat. Sebab, perbuatannya berlawanan dengan apa yang dia ketahui (tentang kebaikan).
Mungkin saja, kejahatan di Pilkada tidak sekeji itu. Tidak menghardik, tidak misuh, dan tidak mengolok-olok. Walakin, kejahatan pilkada baru terasa setelah kita sadar bahwa politik penuh tipu daya. Jika politik tidak sedang menipu, biasanya sedang memperdaya. Begitulah politik bekerja.
Misalnya, kita diperdaya dengan sekian citra, kata-kata mutiara dan senyum nan menggoda. Padahal, sebelum Pilkada tiba, semua serba biasa. Tanpa tahu sedang apa dan juga tanpa berita.
Selain para kontestan pilkada, yang berpotensi menjadi orang jahat adalah kita. Kita semua punya peluang yang sama untuk menjadi pelaku kejahatan yang sempurna.
Misalnya, dengan sengaja, kita memaklumi semua kebajikan yang dirudapaksa. Sikap hormat dianggap perbuatan yang salah alamat. Sikap sopan dicurigai karena sogokan. Dan militansi dituding pengangguran. Maksudnya apa?
Jika tidak disikapi sambil menghela nafas panjang, semua kebajikan yang dirudapaksa itu akan diakhiri dengan kemarahan. Sebab, di tengah dinamika politik yang serba praktis, lumrahnya adalah saling mendowngrade ragam pandangan hingga muncul perselisihan, bahkan pertikaian. Politik seperti bubuk mesiu dalam peperangan.
Di samping itu, karena momentum pilkada, kadang kita mulai terbiasa memaklumi setiap kejahatan yang didalihkan demi kebaikan. Kita menyiapkan sekarung pemakluman dengan alibi demi rakyat masa depan. Kebiasaan ini, berpotensi kita lakukan.
Misalnya, yang sederhana, hanya demi membela, kita jadi lupa cara berbicara secara dewasa. Hanya demi pasang badan, kita mendadak bermuka batu dan menabrak semua kenormaan. Hanya demi menang, setiap perkataan kawan dianggap serangan.
Jika memang sadar, dan merasa dewasa, bersikaplah biasa saja. Politik tetaplah syurga dan neraka bagi masing-masing umatnya. Ada yang suka berpanas-panas ria. Ada juga yang sekuat tenaga berteduh di bawah rimbun nestapa. Salam awam saja.
Penulis menambahkan: Rencana catatan ini dia tujukan kepada semua kawan yang menjadi tim pemenangan di Pilkada. Tapi ini semua hanya sebatas rencana. Tidak lebih._
Catatan Nur Khalis, Jurnalis KompasTV