Mediapribumi.id, Sumenep — Gempa Bumi di Pulau Sapudi, Sumenep sudah terjadi sejak puluhan silam. Bahkan sejak zaman penjajahan Belanda sekitar tahun 1800 an. Hal itu disebabkan sesar aktif di perairan sekitar.
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Meteorologi Trunojoyo, Ari Widjajanto menjelaskan, selain karena adanya sesar aktif, lapisan batuannya mudah menerima dan melepaskan energi.
“Sehingga masyarakat harus lebih sadar terhadap potensi gempa setiap waktu dan harus asesmen mandiri untuk mitigasi,” terangnya kepada wartawan. Rabu (15/10/2025).
Ari menjelaskan, ketika terjadi gempa bumi, BMKG langsung mengidentifikasi kekuatannya kemudian melakukan analisis terhadap potensi tsunami. Setelah potensi tsunami disimpulkan, baru melakukan validasi ulang terkait hasil identifikasi awal.
“Potensi tsunami menjadi prioritas. Yang kemarin meskipun disebabkan sesar aktif di dalam lautan, hasil analisisnya, tidak berpotensi tsunami,” imbuhnya.
Untuk memitigasi potensi bencana tersebut, BMKG meminta kepada masyarakat utamanya di Pulau Sapudi untuk melakukan asesmen mandiri, mulai dari rumah hingga lingkungan sekitar.
Selain itu, membangun kesadaran kolektif untuk bersama menjaga dan memitigasi dampak potensi gempa bumi tersebut.
“Semisal ketika air surut mendadak dan signifikan, berarti ada potensi tsunami, masyarakat harus mengabarkan kepada yang lain untuk bersama menyelamatkan diri,” tandasnya.
Berdasarkan penelitian Ratri Andinisari dkk. dari Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang dan diterbitkan dalam Jurnal Infomanpro Vol. 13 No. 1 Tahun 2024. Kondisi geologi Kabupaten Sumenep yang berada di atas zona sesar Rembang–Madura–Kangean–Sakala (RMKS Fault Zone), yakni zona patahan aktif yang memanjang dari utara Pulau Jawa hingga Kangean. Zona ini termasuk kompleks secara tektonik karena merupakan batas antara area geologi utara dan selatan Pulau Madura.
Meskipun wilayah Sumenep dikenal memiliki tingkat seismisitas rendah, sejumlah gempa dengan magnitudo sedang hingga tinggi pernah terjadi di wilayah ini, misalnya gempa 26 April 2018 (Mw 5,3) dan 2 April 2019 (Mw 4,9). Kondisi tersebut menunjukkan bahwa patahan di sekitar Sumenep berpotensi aktif kembali dan menimbulkan guncangan signifikan di masa depan.
Analisis Peak Ground Acceleration (PGA) menunjukkan nilai 0,1999–0,2083 g, dengan wilayah tertinggi berada di perbatasan Sumenep–Pamekasan, serta di Pulau Sapudi dan Raas. Hal ini menandakan bahwa Kabupaten Sumenep memiliki tingkat bahaya gempabumi kategori sedang, meskipun sebagian besar wilayahnya berisiko rendah.
Dilansir dari detikjatim, wilayah Madura, terutama Kabupaten Sumenep dan pulau-pulau di sekitarnya, telah berulang kali mengalami gempa tektonik sejak abad ke-18. Berbagai catatan kolonial serta arsip surat kabar Hindia Belanda banyak merekam aktivitas kegempaan di kawasan ini.
Salah satu gempa tertua yang tercatat terjadi pada tahun 1863 dan mengguncang wilayah Pamekasan serta Sumenep. Selanjutnya, sejumlah surat kabar kolonial seperti Java-bode, Soerabaijasch Handelsblad, dan De Locomotief melaporkan kejadian gempa di Madura pada tahun 1881, 1883, hingga 1891. Arsip sejarah juga menunjukkan adanya gempa pada tahun 1895, 1896, 1904, 1935, dan 1936.
Memasuki periode modern, pencatatan gempa di Madura menjadi lebih sistematis melalui katalog Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Gempa besar terakhir sebelum tahun 2025 terjadi pada 11 Oktober 2018 di Pulau Sapudi dengan kekuatan magnitudo 6,4, yang mengakibatkan tiga korban meninggal, 34 orang luka-luka, dan 210 rumah rusak. Selanjutnya, pada 2 Maret 2019, gempa bermagnitudo 5,0 kembali mengguncang Sumenep dan menyebabkan kerusakan pada enam rumah.
Peristiwa yang sama terjadi lagi dengan kekuatan 4,1 magnitudo dan dirasakan langsung di Pulau Sapudi pada Rabu, (08/10/2025) pukul 09:07:50 WIB.
Teranyar, gempa bumi berkekuatan magnitudo 5,0 mengguncang wilayah Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur, pada Senin, 13 Oktober 2025, pukul 14.10 WIB.