Mediapribumi.id, Sumenep — Rambutnya telah memutih, namun sorot matanya tetap tajam. Suaranya masih tegas, tubuhnya masih sehat dan bugar. Ia rajin senam, renang, dan jalan kaki. Dialah Bambang Parianom, seorang tokoh yang tak asing lagi bagi masyarakat Malang Raya, terutama bagi mereka yang peduli pada kelestarian lingkungan. Meski sudah pensiun dari birokrasi, mantan Camat Bumiaji Kota Batu sekaligus mantan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Batu ini tetap teguh menapaki jalan pengabdian: menjaga bumi, merawat sumber air, serta menanamkan dan menebar literasi lingkungan untuk menjaga kesadaran lingkungan bagi generasi penerus.
“Pensiun bukan berarti berhenti berkarya. Justru saat ini saya merasa punya lebih banyak waktu untuk membagi ilmu, mendampingi dan mencerahkan masyarakat dan menanamkan nilai pentingnya menjaga lingkungan,” ujarnya dalam sebuah diskusi kecil bersama wartawan dan tim Dosen peneliti dari Universitas Muhammadiyah Malang.
Dari Birokrat ke Aktivis Lingkungan
Bambang Parianom pernah menghabiskan sebagian besar hidupnya di dunia birokrasi. Selama menjadi Camat Bumiaji dan kemudian Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Batu, ia menyaksikan langsung bagaimana arus pembangunan sering kali mengorbankan aspek lingkungan.
“Otonomi daerah membuka peluang percepatan pembangunan, tapi di sisi lain, banyak kepala daerah dan pengembang yang lebih mementingkan aspek ekonomi. Lingkungan jadi terabaikan,” kata Bambang.
Kegelisahan itulah yang kemudian mendorongnya aktif di jalur non-pemerintah. Bersama rekan-rekannya, ia mendirikan LSM Pusaka yang fokus pada penyelamatan sumber air, khususnya di wilayah Hulu Brantas, Kota Batu. Menurutnya, mata air adalah denyut nadi kehidupan. Jika mata air rusak, maka kehidupan masyarakat di hilir juga terancam.
“Sungai Brantas itu bukan hanya milik Batu atau Malang, tapi menjadi sumber kehidupan jutaan orang di Jawa Timur. Kalau hulunya tidak dijaga, kita semua yang akan rugi,” tegasnya.
Mata Air: Sumber Kehidupan yang Terancam
Dalam berbagai kesempatan seminar, Bambang Parianom selalu menekankan pentingnya menjaga sumber air. Ia menilai, air adalah kebutuhan pokok yang sering kali diabaikan karena dianggap melimpah. Padahal, tekanan pembangunan, alih fungsi lahan, dan eksploitasi berlebihan telah membuat debit banyak mata air terus menurun.
Berdasarkan catatan LSM Pusaka, di Kota Batu saja terdapat ratusan mata air yang mengalir ke DAS Brantas. Namun, jumlah itu terus berkurang akibat maraknya pembangunan vila, hotel, perumahan, dan perkebunan yang tidak ramah lingkungan.
“Batu dikenal sebagai kota wisata, tapi jangan sampai jadi kota tanpa air. Kalau air hilang, wisata juga mati. Dari 111, menjadi 50 an mata air, dan hanya ada 10 mata air besar, salah satunya mata air gemulo.
Konservasi harus dilakukan pada dasar permasalahannya yaitu menjaga batu sebagai fungsi water catcment area”, ucapnya gusar.
Ia juga sering mengingatkan bahwa menjaga sumber air tidak bisa hanya dilakukan pemerintah. Perlu sinergi antara masyarakat, akademisi, swasta, dan komunitas. Ia menyebutnya sebagai gerakan kolektif. “Kalau hanya mengandalkan satu pihak, mustahil. Konservasi harus jadi gerakan bersama,” tuturnya.
Mengkampanyekan Konservasi Bambu
Salah satu gagasan unik Bambang Parianom adalah kampanye konservasi bambu untuk menjaga kelestarian mata air. Menurutnya, bambu memiliki kemampuan luar biasa dalam menahan air, memperkuat tanah, dan mengurangi erosi. Berkat kegigihannya mengkampanyekan konservasi bambu, ia bahkan diganjar penghargaan Danamon Award.
“Bambu itu bukan hanya tanaman, tapi penyelamat. Ia bisa tumbuh cepat, akar serabutnya mampu menyimpan air, dan secara budaya, bambu sudah akrab dengan masyarakat kita. Sayangnya, bambu sering dianggap remeh,” jelasnya.
Ia mengajak masyarakat untuk tidak hanya menanam pohon keras, tapi juga bambu di sekitar sumber air. Bahkan, ia pernah menginisiasi gerakan menanam ribuan bambu di beberapa titik hulu Brantas.
Aktivitas Pasca Pensiun: Mengajar dan Berdakwah
Di luar aktivitas lingkungan, Bambang Parianom juga dikenal sebagai sosok religius. Ia rutin mengajar mengaji di lingkungannya, membina sekolah, serta mengisi khutbah di berbagai masjid. “Saya ingin hidup saya bermanfaat, baik untuk alam maupun untuk sesama,” katanya dengan nada rendah hati.
Meski kegiatannya padat, ia selalu menyisihkan waktu untuk terlibat dalam diskusi akademik. Ia kerap menjadi narasumber seminar di berbagai kampus, salah satunya Universitas Muhammadiyah Malang. Pernah, dalam forum yang mempertemukan berbagai stakeholder itu, ia menekankan bahwa konservasi DAS Brantas bukan hanya isu lokal, melainkan regional dan bahkan nasional.
Jejak Penghargaan dan Inspirasi
Kiprah Bambang Parianom di dunia lingkungan hidup telah banyak diapresiasi. Selain Danamon Award, ia juga menerima berbagai penghargaan dari pemerintah daerah dan lembaga swadaya masyarakat. Namun, bagi dirinya, penghargaan bukanlah tujuan utama.
“Penghargaan itu bonus. Yang lebih penting adalah masyarakat sadar bahwa air harus dijaga,” katanya.
Ketekunannya membuat banyak kalangan menaruh hormat padanya. Para akademisi, aktivis, hingga birokrat muda sering menyebut Bambang Parianom sebagai teladan.
Menuju Buku Inspirasi Konservasi
Kini, di usia senjanya, Bambang Parianom tengah menyiapkan warisan intelektual. Bersama tim dari Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Muhammadiyah Malang, Prof. Dr. Abdulkadir Rahardjanto, M.Si., Prof. Dr. Atok Miftachul Hudha, M.Pd., dan Dr. Husamah, S.Pd., M.Pd. ia sedang menulis buku kumpulan pandangan, jejak, dan inspirasi konservasi sumber air.
Buku ini diharapkan menjadi literasi bagi generasi muda, agar mereka tidak mengulangi kesalahan yang sama: abai pada lingkungan.
“Saya ingin anak-anak kita tahu bahwa air itu bukan sesuatu yang bisa dibuat di pabrik. Kalau kita tidak menjaganya, kita yang akan kehilangan,” tegasnya.
Prof. Abdulkadir Rahardjanto menilai, kehadiran buku tersebut akan menjadi catatan penting bagi sejarah konservasi lingkungan di Malang Raya.
“Bambang Parianom bukan hanya aktivis, tapi guru bagi kita semua. Buku ini akan merekam jejak perjuangan beliau sekaligus menjadi inspirasi bagi mahasiswa dan masyarakat,” ungkapnya.
Melawan Arus Pembangunan yang Serampangan
Bambang Parianom tak menutup mata bahwa tantangan ke depan semakin berat. Arus pembangunan, kebutuhan pariwisata, serta ekspansi permukiman terus menekan ruang hidup alam. Ia menilai, kebijakan otonomi daerah sering kali tidak sejalan dengan prinsip konservasi.
“Pembangunan itu perlu, tapi jangan sampai merusak keseimbangan alam. Kalau alam rusak, pembangunan itu sendiri akan hancur,” katanya mengingatkan.
Ia menegaskan bahwa perjuangan lingkungan adalah perjuangan panjang, bahkan seumur hidup. Bagi dirinya, menjaga sumber air adalah jihad kemanusiaan.
“Air itu sumber kehidupan. Tanpa air, tak ada peradaban. Jadi, menjaga air sama dengan menjaga kehidupan,” ujarnya.
Inspirasi yang Terus Menyala
Kini, meski usianya tak lagi muda, semangat Bambang Parianom tetap menyala. Ia hadir di banyak forum, menyapa masyarakat, berbicara di podium, menanam pohon di hutan, atau sekadar duduk berbagi cerita dengan jamaah, peneliti, aktivis, dan mahasiswa. Dari rambutnya yang putih hingga langkahnya yang mantap, ia seolah memberi pesan bahwa cinta pada lingkungan tidak mengenal usia.
“Kalau bukan kita yang menjaga, siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan lagi?” begitu sering ia menutup orasi-orasinya.
Bagi Malang Raya, nama Bambang Parianom bukan sekadar pejuang lingkungan. Ia adalah pengingat, bahwa di balik derasnya arus pembangunan, ada suara lirih dari bumi yang meminta untuk dirawat. Dan selama suara itu ada, Bambang Parianom akan selalu ada di garda terdepan.