Mediapribumi.id — Di tengah peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-97, Indonesia menghadapi tantangan pelik yang mengancam pilar kedaulatan negara: sektor pangan. Krisis regenerasi petani yang kian mendalam—ditandai dengan minimnya minat dan kesadaran generasi muda terhadap pertanian, serta gelombang urbanisasi yang masif—telah menjadi “lampu merah” bagi keberlanjutan pangan nasional.
Banyak pemuda di desa memilih berbondong-bondong merantau ke luar kota. Mereka mencari pekerjaan yang dianggap lebih menjanjikan dan modern, meninggalkan lahan pertanian yang semakin menua dan kosong. Fenomena ini bukan lagi sekadar isu sosial-ekonomi, melainkan ancaman nyata terhadap kedaulatan pangan, yang merupakan kemampuan suatu bangsa untuk memenuhi kebutuhan pangannya secara mandiri dari produksi dalam negeri.
Kedaulatan pangan bukan hanya soal memenuhi perut, tetapi juga soal kekuatan dan martabat bangsa.”
Kedaulatan pangan adalah isu fundamental yang sejalan dan tak terpisahkan dari semangat Sumpah Pemuda tahun 1928. Ikrar “Satu Tanah Air, Satu Bangsa, Satu Bahasa” sarat akan makna kemandirian dan persatuan dalam menjaga martabat bangsa. Bung Karno bahkan pernah menegaskan, “Soal pangan adalah soal hidup dan matinya bangsa.” Oleh karena itu, menjaga ketersediaan pangan adalah perwujudan nyata dari komitmen untuk menjaga persatuan dan martabat Indonesia.
”Pemuda hari ini adalah pewaris sah cita-cita Sumpah Pemuda. Namun, kedaulatan pangan yang menjadi fondasi negara sedang terancam. Jika pemuda terus meninggalkan desa dan lahan pertanian, lalu siapa yang akan menjamin ketersediaan pangan bagi lebih dari 280 juta penduduk Indonesia di masa depan?”
Catatan: Abd. Halim (Ketua Petani Milenial)













