Berita

Aqil Wahid: Menyalakan Lentera AI untuk Masa Depan Sumenep

Avatar
648
×

Aqil Wahid: Menyalakan Lentera AI untuk Masa Depan Sumenep

Sebarkan artikel ini
Aqil Wahid: Menyalakan Lentera AI untuk Masa Depan Sumenep
Aqil Wahid

Mediapribumi.id, Yogyakarta — Di tengah riuhnya Yogyakarta, seorang pemuda asal Sumenep terus menenun mimpinya. Ia bukan sedang mengejar popularitas atau gelar semata. Namanya Ach Nur Aqil Wahid. Usianya baru 23 tahun, tapi pikirannya melampaui zaman. Ia ingin membawa kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) pulang ke kampung halaman Sumenep.

Kini Aqil sedang menempuh pendidikan Magister AI di Universitas Gadjah Mada (UGM), salah satu kampus paling prestisius di Indonesia. Namun kisahnya tak berhenti di sana. Ia juga menjadi instruktur di Inixindo Jogja, perusahaan konsultan IT yang kerap melatih SDM korporasi hingga pemerintahan.

Di balik rutinitasnya, Aqil menyimpan satu ambisi besar: mewujudkan pelayanan publik yang cerdas dan manusiawi di Sumenep, dengan sentuhan teknologi.

Dari Sumenep ke Yogyakarta: Jejak Awal Sang Pemimpi

Aqil lahir dan besar di kota keris. Ia menempuh pendidikan di SDN Pabian, SMPN 1 Sumenep, dan lulus dari SMAN 1 Sumenep. Selepas itu, ia sempat diterima di Universitas Telkom Surabaya dan Universitas Trunojoyo Madura (UTM). Namun, pesan bijak sang ayah mengubah segalanya. “Pergilah sejauh mungkin untuk menuntut ilmu,” katanya.

Aqil pun melangkah ke Yogyakarta dan memilih kuliah di Universitas Teknologi Yogyakarta (UTY), jurusan Artificial Intelligence. Ia menyelesaikan pendidikan sarjananya hanya dalam waktu 3,5 tahun. Tidak hanya cepat, tapi penuh prestasi. Tugas akhir sarjananya tentang diagnosis penyakit menggunakan algoritma FP-Growth berhasil dipublikasikan di jurnal nasional. Objek penelitiannya? Kabupaten Sumenep. “Ini bentuk kepedulian saya terhadap tanah kelahiran,” ujarnya.

AI: Bukan Hanya Kecanggihan, Tapi Lompatan Peradaban

Aqil tak melihat AI sebatas teknologi pintar. Baginya, AI adalah transformasi peradaban. “Jika revolusi industri pertama menggantikan otot manusia, maka AI hari ini menggantikan sebagian cara berpikir. Ia membantu kita mencipta, bukan sekadar bekerja,” tegasnya.

Meski begitu, ia prihatin. Di Indonesia, diskusi serius soal AI baru ramai dalam dua tahun terakhir. Sementara di negara maju, penerapannya sudah jadi kenyataan sejak lima tahun lalu. “Pilihan kita cuma dua,” kata Aqil. “Manfaatkan teknologi atau tergilas oleh kemajuan zaman.”

Mimpi untuk Sumenep: Pemerintahan yang Cerdas dan Cepat

Cita-cita Aqil kini sederhana tapi berdampak besar: menjadikan AI sebagai bagian dari sistem pelayanan publik di Sumenep. Ia membayangkan bagaimana teknologi bisa memangkas birokrasi yang rumit, menghadirkan layanan yang cepat dan transparan.

“Bayangkan jika keluhan masyarakat langsung terdeteksi dan dianalisis oleh sistem. Pemerintah bisa merespons lebih cepat dan akurat. AI bisa jadi alat bantu, bukan pengganti manusia,” jelasnya.

Namun, Aqil menyadari, teknologi sehebat apapun tak akan bermakna tanpa keberanian para pemimpin. “Pertanyaannya sekarang: apakah para pemangku kebijakan siap memulai langkah ini? Atau justru memilih diam, dan melihat daerah lain melaju lebih dulu?” tanyanya.

Dari Balik Layar, Untuk Tanah Kelahiran

Kini, setiap baris kode yang Aqil tulis di balik layar bukan hanya untuk proyek atau riset. Tapi juga doa. Sebuah ikhtiar sunyi untuk masa depan Sumenep yang lebih maju, lebih adil, dan lebih efisien.

“Suatu hari saya ingin pulang. Saya ingin berkontribusi. Tapi semua ini tidak akan berarti kalau tidak ada dukungan dari daerah,” tutupnya dengan nada haru.

Di tengah dunia yang terus berubah, kisah Aqil Wahid adalah pengingat bahwa mimpi besar bisa lahir dari desa kecil. Dan bahwa teknologi, jika digenggam oleh hati yang tulus, bisa jadi lentera bagi masa depan sebuah kabupaten.

Google News

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Hari Jadi Sumenep